Instruksi Presiden Joko Widodo agar Polri menangani kasus-kasus ekonomi
perlu kita dukung, guna memperkecil ruang gerak para spekulan dan
pengejar rente. Setelah kasus dwelling time, kepolisian diminta
menyusuri jejak para spekulan yang memainkan pasokan barang kebutuhan
pangan yang sangat merugikan konsumen.
Permainan pasokan barang sudah
berkali-kali terjadi. Bukan hanya pasokan daging, melainkan juga beras,
kedelai, semen, gula, bahkan garam pun dimainkan. Jelas ada spekulan
yang bermain. Mereka bekerja sama dengan pejabat tertentu, termasuk
memanipulasi data, sehingga pemerintah mengizinkan impor.
Sering
terjadinya silang pendapat antarpejabat, misalnya antara Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perdagangan, karena permainan data tersebut.
Masalah ini tidak pernah ditangani secara tuntas. Kasus terus berulang.
Bukan hanya pengusaha yang untung, melainkan pejabat juga mendapatkan
fee dari kekacauan pasar tersebut bila pengusaha menangguk untung besar.
Hampir semua komoditas impor dimainkan, bahkan ikan teri pun dijadikan
bahan spekulasi.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menginstruksikan
anak buahnya untuk meneliti terkait kelangkaan bahan pangan yang makin
meresahkan konsumen. Ia mencium gelagat tidak sehat mengenai kemungkinan
pihak-pihak yang sengaja menahan pasokan barang.
“Masalah
prosedur impor itu akan diteliti karena ada ulah para pelaku usaha yang
membuat kita ketergantungan pada impor,” katanya kemarin.
Mereka
ditengari sengaja menimbun barang sehingga terjadi kelangkaan barang dan
harus impor. Kepolisian akan menindak pengusaha yang memainkan
distribusi barang, juga pejabat pemerintah yang “main mata” dan
memanipulasi data. “Banyaknya produk impor itu harus diteliti, apakah
betul karena ada kelangkaan atau karena hal lain,” ujarnya.
Gejolak
pasar belakangan ini terjadi terkait kelangkaan daging di pasaran
sehingga harga meroket dan konsumen menjerit. Para pedagang daging di
Jabodetabek bahkan mogok dagang karena kelangkaan pasokan tersebut.
Mereka
bahkan mencurigai ini akibat ulah “mafia daging”, terutama dari
kalangan importir. Stok daging sengaja ditimbun sehingga harga terus
membubung tinggi.
Berkembang spekulasi harga dibiarkan melambung
hingga Idul Adha yang masih satu setengah bulan lagi. Ini karena saat
ini kebutuhan kambing dan sapi meningkat. Kalau spekulasi tersebut
benar, pedagang pasar pun sulit berjualan, keuntungan mengecil, dan
konsumen menjerit.
Badan Urusan Logistik (Bulog) dikabarkan
melakukan operasi pasar untuk menjual daging seharga Rp 95.000 per kg,
di bawah harga yang terjadi sekarang. Namun, masih harus kita amati
sejauh mana kemampuan Bulog menyeret harga turun kembali. Pasar akan
bergerak atas dasar penawaran dan permintaan sehingga Bulog harus
bersaing dengan spekulan dalam upaya menstabilkan harga.
Kita
sangat memprihatinkan keadaan ini sambil berharap para spekulan bisa
disadarkan karena perbuatan mereka sangat merugikan konsumen. Oleh
karena itu, kita mendukung upaya-upaya pemerintah dan kepolisian
menyisir jejak spekulan pangan tersebut dan menangkap mereka yang
terbukti terlibat. Tindakan ini sesuai janji Presiden Jokowi yang akan
menindak para penimbun dalam upaya mengatur distribusi barang agar
berjalan lebih sehat.
Namun, kita juga perlu mengingatkan pemerintah
bahwa kasus-kasus distribusi pangan tersebut juga terkait kegagalan
pemerintah menjaga ketahanan pangan. Penelitian yang dilakukan Economist
Intelligence Unit (IEU) masih menempatkan Indonesia pada peringkat
ke-64 dari 105 negara dalam Indeks Ketahanan Pangan. Peringkat kita
termasuk kategori “moderate” sedangkan Malaysia dan Thailand sudah
tergolong “good”, demikian pula Singapura.
Pratibha Thaker,
Regional Director Middle East and Africa EIU, beberapa waktu lalu
mengatakan Indonesia mendapat skor 46,8 dari rentang 0-100 dan termasuk
dalam kategori moderat. Dalam indeks, tercatat empat level kategori,
yakni best, good, moderate, dan need improvement. Pemeringkatan tersebut
menggunakan 25 indikator yang terbagi ke dalam tiga kategori besar,
yakni jangkauan dan akses finansial, ketersediaan, kualitas, dan
keamanan pangan.
Kenyataan ini memperlihatkan pembangunan kita
menyimpan berbagai ironi yang merugikan rakyat, namun menguntungkan para
spekulan dan pejabat yang korup. Kita masih bekutat pada fakta bahwa
para petani tidak menerima penghasilan lebih ketika harga beras naik,
tapi rente justru dinikmati pedagang. Demikian pula dengan garam, ikan,
produk hortikultura dan semacamnya. Mata rantai distribusi dan
perdagangan yang terlepas dari jangkauan produsen menyebabkan keuntungan
lebih banyak dinikmati pedagang.
Pemerintah harus menata kembali
jalur-jalur distribusi tersebut, bahkan bila perlu mengembalikan peran
Bulog sebagai penyangga yang mengendalikan dan menstabilkan harga. Kita
berharap tindakan kepolisian menyisir “mafia pangan” bisa membongkar
jaringannya, termasuk para pejabat yang berada di belakang layar. Kita
berharap Polri bekerja serius, seperti dalam kasus dwelling time,
termasuk menangkap dan memidanakan mereka yang terlibat.
11 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar