Bulan Agustus kita kenal dengan bulan kemerdekaan. Dalam Pembukaan UUD
1945 dengan jelas termaktub bahwa tujuan utama kemerdekaan adalah
menyejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Proklamasi sebagai
amanat kejuangan adalah pesan atas nilai kejuangan para pahlawan selama
berabad-abad. Tetapi, kini yang kasatmata di permukaan adalah praktik
yang menjauh dari nilai-nilai kemerdekaan. Korupsi telah menjadi
pangkal dari noda yang membuat semangat kemerdekaan itu tidak lagi
membebaskan.
Kehidupan mewah yang dirayakan para pemimpin
bangsa ini adalah sumber malapetaka korupsi. Gaya hidup mewah itulah
yang menjadi sumber petaka perilaku korupsi. Perilaku hidup
bermewah-mewah merupakan indikasi awal tumbuhnya tindak korupsi.
Bermewah-mewah dapat mendorong sifat tak puas dan berusaha memenuhi
kebutuhan dengan segala cara. Penampilan para pemimpin yang suka
mengumbar kekayaan dan kemewahan hidup menjadi potret negeri yang tengah
terpuruk.
Rakyat tidak merasakan nikmatnya kue kemerdekaan.
Ketika rakyat tengah berjerih susah mendapatkan sesuap nasi dengan
bekerja keras bahkan mengemis bantuan pemerintah, yang muncul ke
permukaan adalah praktik pendewaaan harta kekayaan. Tengok saja
kisah-kisah penyitaan kendaraan mewah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap para pejabat yang ketahuan korupsi. Rumah mewah, mobil mewah,
emas berlian, dan perempuan-perempuan cantik.
Akar korupsi
berawal dari ideologi hedonis pragmatis. Di negeri kleptokratis seperti
ini, tindakan korupsi dianggap lazim. Budaya korupsi merupakan kejahatan
paling kasatmata dan sudah dilakukan dengan tanpa rasa malu lagi.
Seorang koruptor kelas kakap bisa bermanis-manis muka di media massa
agar orang melupakan kejahatannya. Meski berompi oranye menuju tahanan,
masih saja mengunbar senyuman tanpa rasa bersalah.
Kesederhanaan
yang ditunjukkan pejabat tidak akan membuat kewibawaan pejabat tersebut
hilang. Justru pamornya kian mengilap. Kita memang tengah berada pada
situasi keburukan moralitas politikus dan elite bangsa. Akibatnya
kemiskinan merajalela. Banyak kebijakan politik yang tidak berdasar
pada kepentingan rakyat. Banyak persoalan publik yang tidak menyentuh
hasrat hidup orang banyak.
Jika ada kebijakan pun sebatas memberikan
ketenangan sesaat. Banyak kebijakan politik pro rakyat yang “setengah
hati” karena terkontaminasi godaan kemewahan dan korupsi. Tingginya
harga kebutuhan pokok termasuk daging sapi belakangan ini karena para
penanggung jawab kebijakan itu terindikasi korupsi dan mengorbankan
rakyat. Korupsi ditunjuk sebagai penyebab masalah krisis pangan
belakangan ini.
Akar masalah bangsa ini terutama melonjaknya harga
barang-barang kebutuhan pokok karena pejabatnya sibuk memperkaya diri
dan melupakan rakyat. Penampilan hedonis dan perlente seorang pejabat
atau politikus menjadi penyebab dan merajalelanya praktik korupsi.
Korupsi memperparah dan memperburuk hasil pembangunan. Pembangunan hanya
dinikmati segelintir orang karena kualitas pembangunan menjadi amat
buruk. Amanat para pejuang kemerdekaan justru diingkari para pemimpin
bangsa ini.
Moralitas
Tindakan memalukan itu
dilakukan bertahun-tahun nyaris tanpa ada yang berani menghentikan.
Kondisi ini akan mencerminkan betapa lunturnya etika politik pemimpin.
Seorang pemimpin tidak hanya menjadi sosok yang berkuasa, melainkan
figur panutan bagi rakyat. Ketika pemimpin mempertontonkan gaya hidup
mewah, sementara rakyat yang dipimpinnya dalam keadaan subsisten karena
kemiskinan kritik yang mengemuka adalah lunturnya empati, hancurnya
solidaritas dan merapuhnya kesetiakawanan sosial. Moralitasnya pun layak
dipertanyakan karena tidak ada kepedulian dan keberpihakan.
Para
pemimpin busuk tidak pernah mampu membawa rakyat kepada kebaikan; yang
ada hanya pembodohan dan penipuan. Empati sebenarnya menjadi sikap utama
yang mendekatkan diri seorang pemimpin dengan rakyat. Namun, ketika
dukungan rakyat pun telah berhasil dibeli dengan politik uang relasi itu
sudah terputus.
Hedonisme para pemimpin menjelaskan slogan lama 3
“ta”, yakni takhta, harta, dan wanita. Takhta dipahami sebagai
kekuasaan. Kalau kekuasaan sudah dapat diraih, orang menjadi lupa
segalanya. Harta menjadi simbol sukses. Banyak orang menjadi pendewa
harta karena cara itulah kehormatan diraih. Dengan kekayaan yang
dimiliki yang disimbolkan dengan kendaraan mewah, rumah bagus, orang
akan terpandang dalam masyarakat. Wanita sejak zaman dahulu ditempatkan
sebagai simbol penting sukses. Perjuangan mendapatkan wanita dalam mitos
sama halnya dengan memperjuangkan kekuasaan dan harta benda. Makin
cantik istri dan makin banyak wanita bisa digandeng, harga diri orang
kian naik. Beragam cara ditempuh untuk tetap memiliki istri yang
kelihatan muda dan cantik, sekalipun dengan korupsi. Skandal seks yang
melibatkan pemimpin sebenarnya bukan rahasia lagi karena selalu melekat
dengan kekuasaan dan harta.
Mestinya para pemimpin bangsa menjadi
pelopor penting hidup sederhana. Seruan hidup sederhana telah dimulai
sejak era Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY bahkan Jokowi,
namun tidak pernah menjadi kenyataan. Pesan penting kemerdekaan adalah
mengembalikan harkat dan martabat rakyat pada relnya. Pesan itu tidak
akan hilang sekalipun bangsa ini hancur. Kedaulatan rakyat harus tetap
dijaga. Hidup sederhana membutuhkan kepeloporan dan keteladanan, bukan
sekadar imbuan. Kemerdekaan hendaknya diberikan makna baru. Kita
khawatir gegap gempita perayaan kemerdekaan hanya menjadi ajang syukuran
yang kering makna. Harus ditegaskan bahwa kita harus bebas dan merdeka
dari korupsi dalam segala bentuknya.
Penulis adalah Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata tinggal di Semarang.
18 Agustus 2015 oleh:
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar