Sabtu, 22 Agustus 2015

Bebas dan Merdeka dari Korupsi

Bulan Agustus kita kenal dengan bulan kemerdekaan. Dalam Pembukaan UUD 1945 dengan jelas termaktub bahwa tujuan utama kemerdekaan adalah menyejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Proklamasi sebagai amanat kejuangan adalah pesan atas nilai kejuangan para pahlawan selama berabad-abad. Tetapi, kini yang kasatmata di permukaan adalah praktik yang menjauh dari nilai-nilai kemerdekaan. Korupsi telah menjadi  pangkal dari noda yang membuat semangat kemerdekaan itu tidak lagi membebaskan.
   
Kehidupan mewah yang dirayakan para pemimpin bangsa ini adalah sumber malapetaka korupsi. Gaya hidup mewah itulah yang menjadi sumber petaka perilaku korupsi. Perilaku hidup bermewah-mewah merupakan indikasi awal tumbuhnya tindak korupsi. Bermewah-mewah dapat mendorong sifat tak puas dan berusaha memenuhi kebutuhan dengan segala cara. Penampilan para pemimpin yang suka mengumbar kekayaan dan kemewahan hidup menjadi potret negeri yang tengah terpuruk.
   
Rakyat tidak merasakan nikmatnya kue kemerdekaan. Ketika rakyat tengah berjerih susah mendapatkan sesuap nasi dengan bekerja keras bahkan mengemis bantuan pemerintah, yang muncul ke permukaan adalah praktik pendewaaan harta kekayaan. Tengok saja kisah-kisah penyitaan kendaraan mewah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para pejabat yang ketahuan korupsi. Rumah mewah, mobil mewah, emas berlian, dan perempuan-perempuan cantik.
   
Akar korupsi berawal dari ideologi hedonis pragmatis. Di negeri kleptokratis seperti ini, tindakan korupsi dianggap lazim. Budaya korupsi merupakan kejahatan paling kasatmata dan sudah dilakukan dengan tanpa rasa malu lagi. Seorang koruptor kelas kakap bisa bermanis-manis muka di media massa agar orang melupakan kejahatannya. Meski berompi oranye menuju tahanan, masih saja mengunbar senyuman tanpa rasa bersalah.
  
Kesederhanaan yang ditunjukkan pejabat tidak akan membuat kewibawaan pejabat tersebut hilang. Justru pamornya kian mengilap. Kita memang tengah berada pada situasi keburukan moralitas politikus dan elite bangsa. Akibatnya kemiskinan merajalela. Banyak  kebijakan politik yang tidak berdasar  pada kepentingan rakyat. Banyak persoalan publik yang tidak menyentuh hasrat hidup orang banyak.

Jika ada kebijakan pun sebatas memberikan ketenangan sesaat. Banyak kebijakan politik pro rakyat yang “setengah hati” karena terkontaminasi godaan kemewahan dan korupsi. Tingginya harga kebutuhan pokok termasuk daging sapi belakangan ini karena para penanggung jawab kebijakan itu terindikasi korupsi dan mengorbankan rakyat. Korupsi ditunjuk sebagai penyebab masalah krisis pangan belakangan ini.
Akar masalah bangsa ini terutama melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok karena pejabatnya sibuk memperkaya diri dan melupakan rakyat. Penampilan hedonis dan perlente seorang pejabat atau politikus menjadi penyebab dan merajalelanya praktik korupsi. Korupsi memperparah dan memperburuk hasil pembangunan. Pembangunan hanya dinikmati segelintir orang karena kualitas pembangunan menjadi amat buruk. Amanat para pejuang kemerdekaan justru diingkari para pemimpin bangsa ini.

Moralitas
 
Tindakan memalukan itu dilakukan bertahun-tahun nyaris tanpa ada yang berani menghentikan. Kondisi ini akan mencerminkan betapa lunturnya etika politik pemimpin. Seorang pemimpin tidak hanya menjadi sosok yang berkuasa, melainkan figur panutan bagi rakyat. Ketika pemimpin mempertontonkan gaya hidup mewah, sementara rakyat yang dipimpinnya dalam keadaan subsisten karena kemiskinan kritik yang mengemuka adalah lunturnya empati, hancurnya solidaritas dan merapuhnya kesetiakawanan sosial. Moralitasnya pun layak dipertanyakan karena tidak ada kepedulian dan keberpihakan.

Para pemimpin busuk tidak pernah mampu membawa rakyat kepada kebaikan; yang ada hanya pembodohan dan penipuan. Empati sebenarnya menjadi sikap utama yang mendekatkan diri seorang pemimpin dengan rakyat. Namun, ketika dukungan rakyat pun telah berhasil dibeli dengan politik uang relasi itu sudah terputus.

Hedonisme para pemimpin menjelaskan slogan lama 3 “ta”, yakni takhta, harta, dan wanita. Takhta dipahami sebagai kekuasaan. Kalau kekuasaan sudah dapat diraih, orang menjadi lupa segalanya. Harta menjadi simbol sukses. Banyak orang menjadi pendewa harta karena cara itulah kehormatan diraih. Dengan kekayaan yang dimiliki yang disimbolkan dengan kendaraan mewah, rumah bagus, orang akan terpandang dalam masyarakat. Wanita sejak zaman dahulu ditempatkan sebagai simbol penting sukses. Perjuangan mendapatkan wanita dalam mitos sama halnya dengan memperjuangkan kekuasaan dan harta benda. Makin cantik istri dan makin banyak wanita bisa digandeng, harga diri orang kian naik. Beragam cara ditempuh untuk tetap memiliki istri yang kelihatan muda dan cantik, sekalipun dengan korupsi. Skandal seks yang melibatkan pemimpin sebenarnya bukan rahasia lagi karena selalu melekat dengan kekuasaan dan harta.
Mestinya para pemimpin bangsa menjadi pelopor penting hidup sederhana. Seruan hidup sederhana telah dimulai sejak era Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY bahkan Jokowi, namun tidak pernah menjadi kenyataan.  Pesan penting kemerdekaan adalah mengembalikan harkat dan martabat rakyat pada relnya. Pesan itu tidak akan hilang sekalipun bangsa ini hancur. Kedaulatan rakyat harus tetap dijaga. Hidup sederhana membutuhkan kepeloporan dan keteladanan, bukan sekadar imbuan. Kemerdekaan hendaknya diberikan makna baru. Kita khawatir gegap gempita perayaan kemerdekaan hanya menjadi ajang syukuran yang kering makna. Harus ditegaskan bahwa kita harus bebas dan merdeka dari korupsi dalam segala bentuknya.

Penulis adalah Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata tinggal di Semarang.

18 Agustus 2015 oleh:
www.sinarharapan.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar