Peristiwa bom Nagasaki dan Hiroshima bukanlah kisah kemenangan Sekutu
dalam peperangan. Peristiwa 70 tahun lalu adalah bukti kekalahan umat
manusia menghadapi peperangan dan kekalahan umat manusia menegakkan
prinsip universal kemanusiaan serta peradaban. Pada 6 Agustus 1945,
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ” Little Boy” di Kota Hiroshima,
Jepang, disusul bom atom ” Fat Man” di Kota Nagasaki.
Dua bom berkekuatan dahsyat itu dijatuhkan setelah enam bulan
pengeboman di 67 kota di Jepang. Peristiwa itu kemudian dipandang
sebagai ” kesuksesan” mengakhiri kecamuk Perang Dunia II seraya
mengenang korban- korban jiwa sebagai ” tumbal” .
Peringatan atas peristiwa tragis itu selalu didominasi suasana
perasaan heroik. Heroisme atas perjuangan ” kaum ksatria” dan ” pejuang”
membela panjipanji ideologi dengan darah yang ditumpahkan. Padahal,
seharusnya kita mengenang peristiwa itu sebagai tragedi kekalahan umat
manusia dalam menegakkan perdamaian.
Alih-alih setia pada jalan damai untuk mengatasi konflik, manusia
cenderung memilih jalan cepat dengan kekerasan. Alih-alih menggunakan
daya kreasi untuk menciptakan peradaban, manusia mencurahkan akalbudi
untuk menciptakan senjata-senjata pemusnah. Tragedi Hiroshima-Nagasaki
tidak menghentikan hal itu. Bom atom itu membunuh 140.000 orang di
Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki.
Dampak radiasi bom-bom itu menewaskan ribuan orang lagi
berbulanbulan setelah bom dijatuhkan. Radiasi nuklir juga mengakibatkan
kecacatan, baik bagi korban yang terkena radiasi langsung maupun
generasi-generasi yang dilahirkan sesudah peristiwa itu.
Kengerian akibat dampak bom itu tidak dapat diselesaikan dalam
sekejap, bahkan membutuhkan waktu beberapa generasi untuk memulihkan
kehidupan yang telah dihancurkan. Apakah kita kemudian belajar dari
sejarah? Tidak juga, sebab perlombaan senjata nuklir dan pemusnah massal
masih terus terjadi hingga saat ini.
Fakta sejarah memang mencatat, bom Hiroshima dan Nagasaki memaksa
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia
II. Namun, peperangan silih berganti datang dan pergi, yang selalu
diakhiri dengan penumpasan peradaban serta penghancuran kehidupan.
Banyak konflik dan perang hingga detik ini belum mampu diatasi meski
secara kuantitas, jumlah korban jiwa jauh lebih besar dibandingkan
dengan jumlah korban tragedi bom atom. Tragedi bom atom belum cukup
menyadarkan masyarakat dunia dan para pemimpin untuk menghapuskan
kekejaman perang. Ideologi perang selalu dihidupkan kembali melalui
narasi-narasi besar militerisme.
Jika direnungkan secara jujur, mungkin terasa absurd apabia hari-hari
ini banyak negara, terutama negara-negara yang terlibat langsung dalam
Perang Dunia II, memperingati tragedi bom atom dan mengenang peristiwa
itu.
Tidak jelas sebetulnya, semangat berpikir apa yang mendasari
peringatan tragedi bom atom? Apakah semangat heroisme militeristik, atau
keinginan untuk tidak melupakan peristiwa itu agar dunia selalu dapat
belajar dari tragedi bom atom? Apakah harus menunggu bom nuklir
dijatuhkan lagi, dengan kekuatan yang jauh lebih dahsyat, untuk
mengakhiri konflik dan peperangan? Tentu saja tidak perlu apabila dunia
bersedia belajar.
Para pemimpin negara akan cenderung memilih jalan peperangan
ketimbang jalan damai apabila menghadapi konflik antarbangsa. Peran
masyarakat untuk menjaga jalan damai itu sungguh sangat besar. Tanpa
tekanan dan desakan moral dari masyarakat, seorang pemimpin yang semula
dielu-elukan rakyat pemilihnya bisa berubah dalam sekejap menjadi
seorang jenderal perang berdarah dingin.
Hanya apabila masyarakat cinta damai, usaha-usaha pelik diplomasi dan
negosiasi damai akan dengan gigih ditempuh. Hanya apabila masyarakat
cinta damai, para pemimpin negara akan ” dipaksa” untuk setia pada jalan
damai. Itulah pesan moral tragedi Hiroshima-Nagasaki.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar