Ada anggapan bahwa orang miskin tidak dilindungi hukum karena mereka
tidak mampu membayar pendampingan hukum oleh advokat atau pengacara.
Akibatnya, mereka tak bisa mendapatkan bantuan hukum. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum diharapkan bisa menjangkau
seluruh warga miskin yang terjerat masalah hukum.
Negara menjamin hak konstitusi semua warga negara untuk mendapat
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum secara adil. Juga
perlakuan sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan HAM.
Mengingat di Indonesia masih banyak masyarakat bergolongan menengah
ke bawah, bantuan hukum penting bagi mereka. Persoalannya hingga saat
ini masih banyak warga miskin tak mengetahui UU tersebut. Tatkala
terjerat permasalahan hukum, mereka hanya bisa pasrah pada proses yang
berjalan.
Padahal hak-hak mereka kadang terabaikan, bahkan hilang, karena ulah
oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Pendampingan hukum tak
hanya untuk orang miskin yang jadi korban ataupun penggugat. Bantuan
serupa bisa diperoleh oleh tersangka ataupun tergugat. Tidak saja untuk
kasus pidana tapi juga perdata, dan tak hanya untuk kasus yang bersifat
litigasi namun juga bisa nonlitigasi.
Seharusnya hal itu jadi gerakan dinamis dalam membangun sistem hukum
yang menjangkau seluruh rakyat. Masing-masing undang-undang punya
kriteria anggota masyarakat yang disebut miskin. Namun perbedaan itu
jangan sampai jadi birokrasi yang mempersulit orang miskin mendapatkan
bantuan hukum. Hambatan dalam pelaksanaan UU itu masih berkutat pada
persoalan birokrasi.
Warga Jawa Tengah yang melakukan tindak pidana di Sumatera misalnya,
sulit mendapatkan bantuan hukum di daerah itu. Argumennya, dia
ber-KTPJateng sehingga harus meminta bantuan hukum di Jateng sesuai
dengan dokumen kependudukannya.
Tak Tepat Sasaran
Ada contoh lain dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Seorang
istri lari dari rumah dan tak membawa apa-apa. Sewaktu ingin mendapatkan
bantuan hukum, ia harus mengawali dari kelurahan, sebagai persyaratan.
Padahal, si suami telah meminta aparat kelurahan supaya tak mengeluarkan
izin perlunya bantuan hukum. Alhasil wanita itu tidak bisa menerima
bantuan hukum.
Karena itu, saran dan kritik dari praktisi dan akademisi hukum kepada
tim DPR yang pada 25 Juni 2015 memantau pelaksanaan UU tersebut di
Jateng bisa menjadi masukan startegis. Anggota parlemen yang bertugas
menyusun UU bisa kembali meninjau efektivitas penerapan regulasi
tersebut. Permasalahan lain dari efektivitas UU itu kadang pada
ketidaktepatan sasarannya, mengingat penerima bantuan hukum ternyata
bukan orang miskin.
Selain itu, ada oknum dari lembaga bantuan hukum yang menyalahgunakan
ketentuan. Hal itu biasanya berkait langsung pemerintah sebagai
penyedia dana kepada pemberi bantuan hukum. Saat ini implementasi dari
UU itu adalah ketersediaan pos bantuan hukum di tiap pengadilan, serta
lembaga bantuan hukum baik swasta maupun perguruan tinggi, kendati belum
efektif.
Namun tetap perlu terus menyosialisasikan kepada warga miskin bahwa
mereka berhak mendapat perlindungan hukum cuma-cuma dari negara.
Perguruan tinggi hukum pun diharapkan makin berperan memberikan bantuan
hukum. Upaya itu bisa dilakukan semisal menugaskan mahasiswa fakultas
hukum membantu menyosialiasikan substansi UU tentang Bantuan Hukum dan
membuka lembaga konsultasi bantuan hukum bagi warga miskin.
Memang untuk mendapatkan bantuan hukum, ada syarat yang harus
dipenuhi warga miskin guna menghindari pihak-pihak yang menyalahgunakan
UU itu. Namun bila warga menaati ketentuan, pemberi bantuan hukum bisa
berperan aktif secara profesional sesuai etika profesi advokat.
Harapannya, pelaksanaan regulasi itu pun tepat sasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar