Sabtu, 29 Agustus 2015

Jalan Kekerasan di Timur Tengah

“Kekerasan telah menjadi pilihan sebagian pihak karena saluran demokrasi benar-benar tertutup”

JALAN kekerasan makin menjadi opsi di banyak tempat di Timur Tengah (Timteng) sebagai cara mencapai tujuan. Subwilayah-wilayah yang semula dipandang aman sekarang juga menjadi sasaran. Kawasan Teluk yang dikenal aman, bahkan dengan keberhasilan pembangunan yang dramatik, kini terus dilanda ancaman bom.

Berita terkini, masjid di Abha, kota Saudi dekat Yaman, diledakkan oleh militan yang mengaku pengikut Islamic State. (6/8/15). Dilaporkan 15 orang tewas termasuk sejumlah anggota pasukan khusus Saudi. Sebelumnya, masjid Syiíah di Provinsi Timur juga diledakkan oleh kelompok militan dengan korban jauh lebih besar.

Rangkaian aksi teror juga terjadi di Kuwait. Bom bunuh diri dilakukan di tengah jamaah shalat tepat saat gerakan sujud di Masjid al-Imam al-Shadiq (26/6/15). Korban meninggal tak kurang dari 30 orang, dan 200 lebih lainnya luka. Islamic State (IS) mengklaimbertanggung jawab atas aksi tersebut.

Pada saat hampir bersamaan, penyerangan terhadap para turis terjadi di Arab Barat, tepatnya di Tunis, ibu kota Tunisia. Korban meninggal sudah 38 orang, bahkan angka ini masih mungkin bertambah. Kebanyakan korban dari Eropa. terutama Inggris. Beberapa pihak diduga terkait dengan aksi itu baik dari luar seperti IS atau ìorganisasiî teroris lokal di Tunisia.

Selang tiga hari setelah dua peristiwa itu, aksi kekerasan terjadi di Mesir (29/6/15). Korbannya jaksa agung Negeri Piramid itu, yakni Hisyam Barakat di samping sejumlah pengawalnya yang tewas dan luka. Kelompok yang menamakan diri al- Muqawamah al-Syaíbiyyah Bil Jizah (Perlawanan Rakyat Giza) mengklaim bertanggung jawab.

Usai aksi itu, rangkaian kekerasan berupa penembakan aparat keamanan dan pengeboman terjadi di berbagai wilayah di Mesir seperti di Hilwan, Bani Suwaif, Alexandria, dan lain-lain. Aksi teror juga terjadi di Turki yang selama ini relatif steril dari aksi kekerasan massif kendati dekat dengan wilayah konflik. Tepatnya di Suruc, kota yang berbatasan dengan Suriah, seorang remaja melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan 32 orang dan melukai seratusan lainnya (20/7/15).

Peristiwa ini sekaligus menandai mulai masuknya militer Turki dalam perang melawan IS. Mengapa jalan kekerasan makin menjadi pilihan di kawasan itu? Kendati kawasan ini seolah lekat dengan aksi kekerasan, sepertinya ada intensitas yang meningkat signifikan dan perluasan kelompok pelaku, dimensi, dan sasarannya pada waktu belakangan ini.

Saluran Demokrasi

Demokratisasi di Timur Tengah (sebagian negara Arab) melalui gerakan protes rakyat bisa dikatakan gagal saat ini. Pipa-pipa saluran aspirasi rakyat yang puluhan tahun tersumbat memang sontak terbuka lebar seiring penguatan gerakan protes rakyat yang kita kenal dengan Musim Semi Arab yang meletus di sejumlah negara kawasan itu. Namun, dalam waktu cepat pula saluran-saluran itu kembali ditutup dengan paksa.

Kekerasan telah menjadi pilihan sebagian pihak karena saluran demokrasi itu benar-benar tertutup. Rangkaian kekerasan yang menimpa polisi, tentara, dan aparat hukum di Mesir, terutama di Sinai dan Kairo, meskipun sangat pahit, sepertinya relevan dibaca dalam kerangka ini. Demikian pula sebagian peristiwa kekerasan di Palestina-Israel.

Namun ‘’anehnya’’, di Libya, Irak, dan Yaman, terbuka lebarnya saluran aspirasi rakyat justru seperti membawa petaka. Jatuhnya rezim militer-despotis menciptakan euforia kebebasan yang berakibat fatal. Politik sektarian baik yang berbasis sekte keagamaan maupun kabilah menguat drastis. Situasi itu kemudian justru memecah dan menciptakan konflik tak terkendali di tiga negara itu hingga saat ini.

Pertanyaan yang sangat klasik bahkan sudah diajukan para pemikir Arab pada 1980-an kembali muncul, apakah sistem demokrasi cocok untuk masyarakat Timur Tengah (Maogoto dan Colemen; 2014)? Kegagalan proses demokratisasi dan terjerumusnya kawasan dalam lingkaran kekerasan saling balas sekitar 4 tahun terakhir memberikan jawaban skeptis atas pertanyaan tersebut.

Waktu-waktu tertentu yang diagungkan kebanyakan umat Islam untuk memperkuat ibadah dan amal kebajikan terhadap sesama seperti hari Jumat atau bulan Ramadan, justru menjadi pilihan bagi kelompok IS untuk melakukan kekerasan. Pelaku kekerasan di masjid Kuwait dan di pantai Tunisia memilih waktu itu untuk menjalankan aksi dan saat kematian mereka


http://berita.suaramerdeka.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar