“Kekerasan telah menjadi pilihan sebagian pihak karena saluran demokrasi benar-benar tertutup”
JALAN kekerasan makin menjadi opsi di banyak tempat di Timur Tengah
(Timteng) sebagai cara mencapai tujuan. Subwilayah-wilayah yang semula
dipandang aman sekarang juga menjadi sasaran. Kawasan Teluk yang dikenal
aman, bahkan dengan keberhasilan pembangunan yang dramatik, kini terus
dilanda ancaman bom.
Berita terkini, masjid di Abha, kota Saudi dekat Yaman, diledakkan
oleh militan yang mengaku pengikut Islamic State. (6/8/15). Dilaporkan
15 orang tewas termasuk sejumlah anggota pasukan khusus Saudi.
Sebelumnya, masjid Syiíah di Provinsi Timur juga diledakkan oleh
kelompok militan dengan korban jauh lebih besar.
Rangkaian aksi teror juga terjadi di Kuwait. Bom bunuh diri dilakukan
di tengah jamaah shalat tepat saat gerakan sujud di Masjid al-Imam
al-Shadiq (26/6/15). Korban meninggal tak kurang dari 30 orang, dan 200
lebih lainnya luka. Islamic State (IS) mengklaimbertanggung jawab atas
aksi tersebut.
Pada saat hampir bersamaan, penyerangan terhadap para turis terjadi
di Arab Barat, tepatnya di Tunis, ibu kota Tunisia. Korban meninggal
sudah 38 orang, bahkan angka ini masih mungkin bertambah. Kebanyakan
korban dari Eropa. terutama Inggris. Beberapa pihak diduga terkait
dengan aksi itu baik dari luar seperti IS atau ìorganisasiî teroris
lokal di Tunisia.
Selang tiga hari setelah dua peristiwa itu, aksi kekerasan terjadi di
Mesir (29/6/15). Korbannya jaksa agung Negeri Piramid itu, yakni Hisyam
Barakat di samping sejumlah pengawalnya yang tewas dan luka. Kelompok
yang menamakan diri al- Muqawamah al-Syaíbiyyah Bil Jizah (Perlawanan
Rakyat Giza) mengklaim bertanggung jawab.
Usai aksi itu, rangkaian kekerasan berupa penembakan aparat keamanan
dan pengeboman terjadi di berbagai wilayah di Mesir seperti di Hilwan,
Bani Suwaif, Alexandria, dan lain-lain. Aksi teror juga terjadi di Turki
yang selama ini relatif steril dari aksi kekerasan massif kendati dekat
dengan wilayah konflik. Tepatnya di Suruc, kota yang berbatasan dengan
Suriah, seorang remaja melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan 32
orang dan melukai seratusan lainnya (20/7/15).
Peristiwa ini sekaligus menandai mulai masuknya militer Turki dalam
perang melawan IS. Mengapa jalan kekerasan makin menjadi pilihan di
kawasan itu? Kendati kawasan ini seolah lekat dengan aksi kekerasan,
sepertinya ada intensitas yang meningkat signifikan dan perluasan
kelompok pelaku, dimensi, dan sasarannya pada waktu belakangan ini.
Saluran Demokrasi
Demokratisasi di Timur Tengah (sebagian negara Arab) melalui gerakan
protes rakyat bisa dikatakan gagal saat ini. Pipa-pipa saluran aspirasi
rakyat yang puluhan tahun tersumbat memang sontak terbuka lebar seiring
penguatan gerakan protes rakyat yang kita kenal dengan Musim Semi Arab
yang meletus di sejumlah negara kawasan itu. Namun, dalam waktu cepat
pula saluran-saluran itu kembali ditutup dengan paksa.
Kekerasan telah menjadi pilihan sebagian pihak karena saluran
demokrasi itu benar-benar tertutup. Rangkaian kekerasan yang menimpa
polisi, tentara, dan aparat hukum di Mesir, terutama di Sinai dan Kairo,
meskipun sangat pahit, sepertinya relevan dibaca dalam kerangka ini.
Demikian pula sebagian peristiwa kekerasan di Palestina-Israel.
Namun ‘’anehnya’’, di Libya, Irak, dan Yaman, terbuka lebarnya
saluran aspirasi rakyat justru seperti membawa petaka. Jatuhnya rezim
militer-despotis menciptakan euforia kebebasan yang berakibat fatal.
Politik sektarian baik yang berbasis sekte keagamaan maupun kabilah
menguat drastis. Situasi itu kemudian justru memecah dan menciptakan
konflik tak terkendali di tiga negara itu hingga saat ini.
Pertanyaan yang sangat klasik bahkan sudah diajukan para pemikir Arab
pada 1980-an kembali muncul, apakah sistem demokrasi cocok untuk
masyarakat Timur Tengah (Maogoto dan Colemen; 2014)? Kegagalan proses
demokratisasi dan terjerumusnya kawasan dalam lingkaran kekerasan saling
balas sekitar 4 tahun terakhir memberikan jawaban skeptis atas
pertanyaan tersebut.
Waktu-waktu tertentu yang diagungkan kebanyakan umat Islam untuk
memperkuat ibadah dan amal kebajikan terhadap sesama seperti hari Jumat
atau bulan Ramadan, justru menjadi pilihan bagi kelompok IS untuk
melakukan kekerasan. Pelaku kekerasan di masjid Kuwait dan di pantai
Tunisia memilih waktu itu untuk menjalankan aksi dan saat kematian
mereka
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar