Bagi sebagian lulusan perguruan tinggi, hidup di pedesaan merupakan
tantangan. Berbagai ide menarik yang dibawa dari kampus tidak sepenuhnya
bisa diterima dan mudah diterapkan di tengah masyarakat. Kerap gagasan
ideal membangun desa tidak semudah yang dibayangkan. Kenyataan
menunjukkan bahwa banyak gagasan yang diwacanakan lulusan kampus asal
pedesaan hanya tinggal angan-angan.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS sampai Februari
2015, angka pengangguran mencapai 7,5 juta atau 5,81% dari jumlah
penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 3,96 juta penganggur usia
muda. Dapat dibayangkan makin bertambah banyak angka pengangguran jika
mayoritas masyarakat hanya menunggu lowongan pekerjaan.
Sayang gagasan kewirausahaan belum sepenuhnya disadari sebagian besar
masyarakat pedesaan. Kewirausahaan masih belum dijadikan pilihan
strategis karena dianggap memiliki masa depan belum pasti. Bisa jadi
berhasil atau sebaliknya.
Kemungkinan untuk berhasil dan gagal sama besarnya. Kondisi ini
berbeda dari berkerja di kantor atau menjadi pegawai. Seringkali,
ketakutan mengambil risiko menjadikan sebagian dari sarjana asal
pedesaan enggan berdiam diri di kampung halaman.
Desa dianggap tidak mampu menjadi sarana mengeksplorasi diri.
Dibanding perkotaan, wilayah pedesaan secara umum dapat dikatakan masih
tertinggal, baik dari segi infrastruktur, fasilitas, keramaian, maupun
kemudahan akses informasi. Tidak produktifnya potensi di pedesaan
menjadikan desa sepi. Banyak orang harus berkerja di luar untuk
mendapatkan nafkah.
Mengatasi permasalahan ini, pemerintah menciptakan berbagai program
dengan sasaran utama desa. Wacana dana desa atau pemuda sarjana
penggerak pembangunan di pedesaan (PSP3) adalah upaya pemerintah
memajukan desa. Program ini dapat diarahkan mengembangkan kewirausahaan
di pedesaan yang berlum tergarap. Pasalnya banyak lahan dan potensi di
desa yang belum dikelola optimal.
Idealnya, untuk menjadi negara yang sejahtera sedikitnya 2% dari
total penduduk sebuah negara adalah pengusaha. Sampai saat ini,
Indonesia baru mencapai 1,65%. Jumlah ini jauh tertinggal dengan
Malaysia yang sudah mencapai 4% dan Thailand yang mencapai 7% (SM,
28/7/15).
Belum Familiar
Program kewirausahaan ini juga sejalan dengan program Kementerian
Ketenagakerjaan yang menargetkan 28 ribu pengusaha di tahun 2015.
Bantuan modal, pelatihan dan pendampingan akan difasilitasi kementerian
terkait.
Mahasiswa atau sarjana yang memiliki minat berwirausaha serta
kepedulian dapat menjadi salah satu penggerak program ini. Rencana ini
sudah selayaknya disambut dengan gembira oleh masyarakat. Meski demikian
ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi agar program ini dapat
berjalan sesuai dengan harapan.
Pertama, belum familiarnya kewirausahaan di pedesaan. Hal ini terjadi
karena minimnya akses informasi di pedesaan. Berbeda dari kota di mana
informasi dan berbagai bantuan program pemerintah dan swasta mudah
didapatkan.
Dampaknya, bagi sebagian masyarakat pedesaan, mindset yang dominan
adalah kerja dan kerja. Sangat jarang yang memiliki inisiatif
berwirausaha. Selain itu, kondisi masyarakat yang mulai pragmatis
menjadikan pertimbangan tersendiri. Jangan sampai batuan yang seharusnya
untuk berirausaha justru digunakan untuk menutupi kebutuhan
sehari-hari.
Kedua, penggalian potensi wilayah. Analisis ini penting dilakukan,
agar usaha yang akan dijalankan berjangka panjang. Pemilihan bibit-bibit
calon pengusaha, ketersediaan bahan, teknologi dan tenaga ahli juga
perlu dipertimbangkan. Jangan sampai rencana usaha hanya menjadi
program. Ketiga, penguatan manajemen dan monitoring program.
Kelemahan melakukan evaluasi seringkali menjadikan program tidak
berjalan maksimal. Dibutuhkan tolok ukur keberhasilan yang jelas. Sangat
disayangkan jika program yang menghabiskan banyak anggaran tidak
memiliki hasil maksimal, yakni tercipta 28 ribu pengusaha dan mengurangi
angka pengangguran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar