Persoalan pesta demokrasi, perhelatan akbar pemilihan kepala daerah
(pilkada) yang akan diselenggarakan pada Desember mendatang begitu
menarik perhatian. Bukan karena ini kali pertama Indonesia melangsungkan
pilkada, melainkan ini karena jumlah daerah yang melangsungkannya
begitu masif dan marak.
Bayangkan jika pilkada ini
dilangsungkan serentak di 269 daerah, tingkat I maupun tingkat II.
Kemeriahan dan eksesnya sudah pasti harus diantisipasi. Tak kalah
repotnya adalah persiapan dana pelaksanaannya.
Di
sejumlah daerah, geliat akan menyambut pesta ini sudah mulai terasa.
“Bursa” siapa yang akan maju sudah beberapa waktu belakangan ini
mengemuka di media-media nasional maupun daerah. Apa yang terjadi pada 3
Agustus ini lebih memastikan lagi siapa sosok yang pasti berlaga.
Sayangnya,
dari lebih 200 daerah penyelenggara pilkada, ada ganjalan dari tujuh
lainnya. Permasalahannya adalah ketujuh daerah hanya punya satu pasangan
bakal calon kepala daerah. Ini terjadi di Kabupaten Tasikmalaya Jawa
Barat, Kota Mataram dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara
Timur, Kota Samarinda di Kalimantan Timur, juga Kota Surabaya, Kabupaten
Pacitan, dan Blitar di Jawa Timur.
Seperti drama,
Kota Surabaya menjadi daerah terakhir yang hanya memiliki satu pasangan
calon pilkada. Lawan yang akan bertanding melawan petahana, kemudian
mengundurkan diri pada menit-menit terakhir. Kondisi ini dalam
perundangan sudah ditegaskan. Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Nomor 12/2015, bagi daerah yang tidak memiliki lebih dari satu
pasangan calon, pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda.
Tahapan
keduanya pada 2017. Artinya, selama setahun ke depan, daerah tersebut
akan dipimpin pelaksana tugas (plt). Uniknya memang, jika pengunduran
terjadi, kemungkinan akan berulangnya persoalan sama, masih riskan ada.
Bisa aja setahun kemudian, calon lain yang dianggap mumpuni, atau
setidaknya mau berlaga, malah kembali tak ada.
Daerah
yang dipimpin plt akan mengalami konsekuensi nyata. Pelambatan
perkembangan, terutamanya ekonomi, sulit tak terjadi. Plt kepala daerah,
sesuai perundangan, tak dimungkinkan mengambil keputusan yang
stratgegis, semisal terkait penggunaan dan pengajuan anggaran dan
belanja daerah yang dipimpin. Otomatis program pembangunan setempat pun
molor.
Kini, sejumlah pihak, terutamanya politikus
bersuara lantang dalam polemik baru, perlunya peraturan pemerintah
pengganti undang-undang atau perppu. Pihak pro menyebutkan, perppu
penting untuk mengantisipasi penundaan pilkada di sejumlah daerah.
Kebanyakan berkeinginan ada celah dilakukan perpanjangan lagi
pendaftaran yang berlaga, atau pembatasan waktu berkuasanya plt.
Lainnya
juga berkomentar soal dasar keluarnya perppu. Sebagaimana diatur dalam
perundangan, perppu harus didasari kegentingan. Dalam hal ini,
polemiknya berlarut genting atau tidak kondisi kini? Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya melakukan
koordinasi dengan berbagai pihak tentang sejumlah opsi yang disiapkan,
termasuk alasan menerima perppu.
Tjahjo, yang dulu
adalah Sekjen PDIP, juga tak menafikan, jika pemerintah mungkin akan
mengacu pada Peraturan KPU Nomor 12/2015, yakni menunggu sampai 2017.
Tanggal pelaksanaannya akan diserahkan ke KPU.
Lepas
dari pro-kontra perppu, ada hal yang harusnya dicermati publik; tidak
antusiasnya peserta pilkada, seperti antitesis terhadap riak demokrasi
yang makin maju. Beberapa waktu lalu, banyak pihak rebutan ingin jadi
kepala daerah. Pasangan calon biasanya lebih dari tiga. Kali ini,
kondisi di banyak daerah justru paradoksal. Asumsi menjadi kepala daerah
itu adalah salah satu posisi dambaan, ternyata tak juga demikian.
Pertanyaan
lainnya tentu mengarah ke parpol. Bisa saja kita berpandangan, ternyata
minim kader parpol yang mumpuni yang disiapkan meimpimpin daerah.
Di
lain sisi, jika kita agak sedikit nyeleneh, kita bisa bersyakwasangka,
ini memang rekayasa petahana dan pendukung, untuk sengaja “melenyapkan”
lawan. Namun, jika dibandingkan banyaknya daerah yang calonnya lebih
dari satu, dugaan-dugaan negatif ini bisa jadi salah.
Di
sisi lain, yang tak sebenarnya harus diingat adalah implikasi ini tak
lain disebabkan sempitnya “jarak pandang” pembuat undang-undang.
Semestinya, apa pun yang mungkin terjadi, baik kecil maupun besar,
diantisipasi setegas dan sejelasnya.
Pembuat
perundangan lupa kondisi-kondisi tak lumrah, seperti satu calon yang
maju, bisa saja terjadi. Ini mengingatkan pada yang terjadi di pilpres
lalu. Perundangan seolah menafikan kemungkinan adanya hanya dua pasang
kontestan berlaga. Padahal, di UU pilpres diatur untuk dua babak
pertandingan. Dari hal-hal ini, semestinya para pembuat
perundangan sadar implikasi jika produk kerja dibuat dalam waktu cepat
terburu-buru. Konsekuensinya dialami negara dan bangsa.
Memang
mudah jika kemudian diterbitkan perppu untuk hal-hal serupa. Namun,
bukankah ini semakin menegaskan, bahwa hasil kerja pembuat perundangan
mengandung celah yang tak mudah diterima. Bagi mereka yang
mendukung perppu, hal wajar jika mempertanyakan unsur kegentingan.
Apalagi, kegentingan yang berihwal dari kesalahperhitungan.
05 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar