Realistis dan optimistis adalah dua kata yang paling tepat untuk
menilai paparan kebijakan ekonomi pemerintah, sebagaimana diungkapkan
Presiden Joko Widodo dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 beserta nota
keuangannya pada sidang paripurna DPR 14 Agustus 2015. Realistis karena
pemerintah tidak mematok angka yang terlalu tinggi untuk pertumbuhan
ekonomi namun tetap optimistis.
Dalam pengantar nota keuangan yang disampaikan Presiden, pemerintah
menjanjikan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen pada 2016. Sementara pada
saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dan hanya mencapai 4,67
persen, janji pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 5,5 persen itu
dipandang sebagian kalangan sebagai janji-janji kosong belaka yang akan
sulit terpenuhi. Pandangan pesimistis itu muncul karena hanya melihat
pada kondisi saat ini.
Namun, mencermati asumsiasumsi yang disampaikan pemerintah, sikap
realistis pemerintah merupakan modal besar untuk mencapai optimisme
pertumbuhan ekonomi. Dalam RUU APBN 2016, dicantumkan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS adalah Rp 13.400 per dolar AS. Meski kondisi riil
pasar saat ini sudah pada angka Rp 13.700-an. Tim ekonomi yang baru
hasil perombakan ikut menambah optimisme pemerintah dan masyarakat bahwa
target dapat tercapai.
Sikap realistis tercermin dari perkiraan inflasi 4,7 persen pada 2016
dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti perkembangan harga
komoditas pangan dan energi dunia, pergerakan nilai tukar rupiah, serta
perubahan iklim. Asumsi harga minyak dunia 60 dolar AS per barel juga
cukup realistis sebagai patokan prediksi ekonomi pada 2016. Namun, semua
asumsi dan prediksi itu tidak ada gunanya apabila tidak didukung
stabilitas politik.
Stabilitas politik tidak lagi dicapai melalui represi dan rezim
otoriter seperti dialami Indonesia pada era pemerintahan sebelumnya.
Stabilitas politik hanya dapat dicapai apabila para aktor politik di
negeri ini mengubur ego masing-masing. Presiden mengingatkan para
pengelola media massa misalnya, untuk tidak melulu mengejar rating
sehingga mengabaikan peran media massa sebagai pemandu publik untuk
kebijakan bersama.
Di sisi lain, target pertumbuhan itu tidak ada artinya apabila
kesejahteraan masyarakat belum merata. Seperti dikemukakan Menteri
Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, nikmat kemerdekaan selama ini belum
dirasakan semua masyakarat karena hanya 20 persen warga yang
betul-betul merasakan kesejahteraan. Jadi, selain mengejar pertumbuhan
ekonomi, tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan bagi 80 persen
warga masyarakat.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar