Komunikasi antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPRD) dinilai buruk. Ketua DPRD Jateng Rukma
Setyabudi bahkan menegaskan, komunikasi antara Gubernur dan DPRD adalah
pekerjaan rumah pertama yang harus segera diselesaikan Ganjar Pranowo
dan Heru Sudjatmoko selaku wakil gubernur. Seburuk apa sebetulnya
komunikasi antara gubernur dengan legislatif sehingga timbul penilaian
itu?
Komunikasi politik memang termasuk hal yang gampang dilakukan tetapi
sekaligus juga sulit. Selain yang dialami Ganjar-Heru, sebagian besar
pejabat publik, entah itu di daerah tingkat II, daerah tingkat I, di
pusat kekuasaan di Jakarta, atau di lembagalembaga publik yang menuntut
persentuhan dengan khalayak luas dan kebijakan publik, mengalami
persoalan yang sama. Sejak era keterbukaan dimulai, krisis komunikasi
politik justru menjadi-jadi.
Mengapa? Karena semua warga negara di Indonesia saat ini samasama
dapat berperan sebagai pemain dan pelaku yang ikut menentukan dimensi
komunikasi politik. Era keterbukaan, yang diikuti dengan kebebasan pers,
mengakibatkan informasi dan gagasan apapun tidak dapat lagi dibendung
atau dikontrol oleh pemerintah. Lanskap dan konteks komunikasi politik
saat ini berbeda dengan komunikasi pada masa ketika proses
hirarkis-otoriter masih berjalan.
Konteks tersebut menuntut penyikapan dan perilaku komunikasi yang
berbeda. Praktik komunikasi politik di negara-negara tempat asal mula
konsep itu berasal, seperti misalnya Amerika Serikat dan kemudian
diikuti Inggris, telah melalui perubahan evolutif dari era komunikasi
politik konvensional ke era komunikasi politik modern. Indonesia, tanpa
kita sadari, tiba-tiba mengimpor pola komunikasi politik modern sehingga
harus belajar dengan cepat.
Maka tidak heran apabila hampir sebagian besar persoalan dan
kegaduhan di negeri ini dipicu oleh praktik komunikasi yang tidak pas
dalam konteks dan cara. Belum lama ini, pilihan komunikasi Menteri
Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menuai kegaduhan. Banyak kali dalam
berbagai peristiwa, model komunikasi politik yang diterapkan elite
kekuasaan lebih banyak menghasilkan distorsi. Tidak terhitung pula
ketidakharmonisan para kepala daerah.
Loncatan yang tiba-tiba dari model komunikasi
hirarkis-terkontrol-otoritarian ke model komunikasi
egaliter-cairdemokratis dapat menimbulkan kegagapan komunikasi.
Alih-alih muncul jembatan antara para pelaku, justru timbul jurang
perbedaan yang makin lama makin dalam. Pada titik ini, bangsa Indonesia
dapat mengalami krisis komunikasi politik yang berujung pada kemampetan
diskursus. Sila musyawarah untuk mufakat tanpa disadari ikut terkubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar