Pencantuman pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menambah keruwetan politik yang
tidak perlu. Kalau memang Presiden Joko Widodo tidak berkeberatan atas
penolakan masyarakat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebaiknya
diperintahkan kepada menteri hukum dan HAM (menhukham) untuk
mencabutnya.
“Ini hanya rancangan,” kata Jokowi
kemarin. “Kalau memang tak ingin ada pasal itu ya terserah. Nanti
wakil-wakil rakyat yang memutuskan. Pemerintah yang lalu
mengusulkannya. Kami kan melanjutkan.”
Para
legislator, kata Jokowi, punya wewenang untuk menentukannya. Jokowi
bahkan mengatakan, sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI
Jakarta, hingga kini menjadi presiden, ia kerap menerima cemoohan dan
tak pernah mempermasalahkannya.
Kita menghormati
sikap Jokowi tersebut. Itu cermin sikap seorang negarawan yang sangat
menyadari tanggung jawabnya sebagai pejabat publik. Ia tipe pemimpin
yang sangat memahami bahwa kritik dan opini publik ditujukan kepadanya
sebagai pejabat publik, bukan pribadi.
Catatan ini
sangat penting mengingat besarnya risiko pencantuman pasal penghinaan
tersebut dalam KUHP. Selain karena pasal sejenis telah dibatalkan
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, penerapannya bisa mengancam hak
rakyat dalam berpendapat dan berekspresi. Pengalaman menunjukkan,
penerapan pasal-pasal serupa itu sangat lentur, layaknya “pasal karet”
yang bisa digunakan penguasa untuk memberangus kelompok vokal, media
massa, dan lawan politiknya.
Jokowi benar bahwa
gagasan menghidupkan pasal penghinaan tersebut dirancang pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu marak sekali demo
yang mengkritik kebijakan SBY. Sekelompok demonstran bahkan mengarak
kerbau di sepanjang Jalan MH Thamrin, Jakarta, sebagai simbol tudingan
mereka betapa bebalnya pemerintah. Banyak pendukung SBY menilai
demonstran sudah menghina presiden.
Tapi, semestinya
Jokowi menyadarinya dan tidak melanjutkannya. Kecuali bila ia sependapat
dengan gagasan tersebut. Sikap dan citra Jokowi yang egaliter
semestinya tidak sejalan dengan semangat feodalistis yang
melatarbelakangi pasal tersebut; sebab pasal itu sepenuhnya merupakan
warisan kolonial yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda.
Kita
sangat terlambat mengoreksi ketentuan-ketentuan feodalistik dalam
sistem hukum nasional, terbukti pasal penghinaan presiden itu pun baru
digugurkan 60 tahun setelah kemerdekaan. Upaya pemerintah untuk
menghidupkannya kembali niscaya sebuah kemunduran, kesia-siaan, dan
kebodohan. Kita hanya mengulangi sejarah yang kelam. Pasal itu tidak ada
gunanya dalam alam demokrasi dan keterbukaan.
Sesuai
rumusan yang akan dibahas DPR mulai akhir bulan ini, pasal tersebut
tertulis, ”Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau
memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi
penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi
penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
IV.”
Pasal tersebut tidak hanya mengancam masyarakat
yang kritis, tapi terlebih lagi media massa nasional dalam menjalankan
fungsi kontrol sosial. Media massa memuat tulisan, foto, karikatur,
video, dan berbagai silang pendapat pandangan masyarakat mengenai
masalah tertentu, tak terkecuali kritik terhadap presiden dan
pemerintah. Pasal itu bisa berubah menjadi “pasal karet” apalagi bila
aparat penegak hukum tak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan.
Kita
juga tidak sependapat dengan pandangan yang menyakralkan jabatan
presiden dan wapres sebagai lambang negara, bahkan istri mereka. Itu
pandangan lama, terutama dari model penguasa feodal. Pandangan ahli
hukum ternyata berkembang dan banyak yang kini menolaknya. “Dulu kepala
negara dan ratu dianggap simbol negara. Itu teori lama. Sekarang simbol
itu artinya lambang negara. Pasal 26 UUD 1945 menyatakan bahwa simbol
itu Garuda Pancasila,” kata Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK.
Kita
juga menggarisbawahi pandangan pengamat hukum tata negara dari Sinergi
Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), M Imam Nasef, yang
mengatakan rencana pemerintah itu mengandung risiko konstitusional.
“Materi pasal penghinaan tersebut bisa menjadi ‘bumerang’ bagi
pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara, utamanya hak
mengeluarkan pendapat dan hak berekspresi.”
Kita
percaya DPR akan menolak pencantuman pasal tersebut dalam pembahasan
revisi KUHP nanti. Itu karena biasanya pasal yang sudah dibatalkan oleh
MK tidak bisa dibahas dan dihidupkan lagi. Keputusan MK itu bersifat
final dan mengikat dan lembaga ini konsisten menjalankan apa yang sudah
pernah diputuskan.
Kita meminta pemerintah mencabut
saja pasal kontroversial tersebut daripada menambah keruwetan yang
tidak perlu. Pemerintah lebih baik menyelesaikan berbagai agenda yang
lebih mendesak. Misalnya, bagaimana menjamin pilkada serentak agar
berjalan lancar dan aman, selain bekerja keras memperbaiki ekonomi
nasional yang belakangan ini terus memburuk. 07 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar