KADO istimewa dan bersejarah bagi peringatan 48 tahun ASEAN pada 8
Agustus 2015 adalah kebersatuan ASEAN. Ke-10 negara anggota ASEAN
bersepakat memasukkan isu Laut Tiongkok Selatan (LTS) ke dalam Komunike
Bersama, sebagai hasil dari pertemuan ke-48 para menlu ASEAN di Kuala
Lumpur, Malaysia (3-6/8/15). Melalui komunike bersama itu, ASEAN kembali
menegaskan kepemimpinan dan sentralitasnya dalam menciptakan stabilitas
dan perdamaian regional di Asia Tenggara, termasuk dalam konflik klaim
LTS.
Komunike bersama itu memberikan implikasi mendasar bagi ASEAN. Di
satu sisi, kesepakatan itu membuktikan negara-negara anggota mampu
mengambil kebijakan regional satu suara dalam mengupayakan penyelesaian
atas konflik klaim di LTS. Perbedaan kepentingan antara Kamboja yang
pro-Tiongkok dan pengklaim LTS (Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia)
bisa diselesaikan atas nama komitmen regional mengenai sentralitas
ASEAN.
Di sisi lain, kesepakatan bersama itu menunjukkan keberanian ASEAN
mengabaikan Tiongkok. Keberanian ASEAN juga menghilangkan kritik tentang
defisit kepercayaan di antara negara-negara ASEAN ketika berhadapan
dengan kepentingan Tiongkok di LTS. Untuk kali pertama dalam isu LTS,
ASEAN bersatu memperkuat preferensi guna lebih mendorong perundingan
regional ketimbang bilateral dalam penyelesaian konflik itu.
Dengan kebersatuan tersebut, ASEAN lebih mudah berunding dengan
Tiongkok untuk berpegang pada declaration of conduct (DoC) mengenai LTS
yang disepakati bersama sejak 2002. Selanjutnya, Tiongkok dan ASEAN
harus segera membicarakan hal-hal teknis dari code of conduct (CoC)
sebagai panduan perilaku di LTS. Keduanya jadi dokumen dasar bagi
perundingan diplomasi dan panduan di lapangan berkait potensi-potensi
kerja sama di LTS, kebebasan navigasi, dan keamanan regional.
Konsistensi Tiongkok
Jalan menuju ASEAN bersatu tidak mudah dicapai. Beberapa faktor dapat
mengganggu kesatuan sikap itu. Pertama, kecenderungan Tiongkok ”bermuka
dua” ketika berada di forum-forum perundingan multilateral dan
kenyataan di lapangan.
Sejak 2002 Tiongkok sebenarnya sudah menyetujui DoC dan CoC tentang
LST tetapi ia juga selalu menekankan preferensinya pada perundingan
bilateral.
Inkonsistensi itu bahkan berlanjut di luar meja perundingan. Militer
Tiongkok lebih sering bertindak agresif dan provokatif di kawasan LTS.
Unjuk kekuatan militer itu berpuncak pada pembangunan pulau di wilayah
Spratly yang berujung protes negara-negara lain pengklaim wilayah LTS.
Malaysia yang selama ini bersikap lunak juga mengecam provokasi militer
Tiongkok. Kehadiran militer Tiongkok di LTS merupakan tindakan
kontraproduktif bagi stabilitas kawasan.
Kedua, inkonsistensi sikap Kamboja yang mendukung kepentingan
Tiongkok. Walaupun Kamboja akhirnya menyetujui Komunike ASEAN yang
berisi perhatian mereka mengenai perdamaian di LTS, Kamboja sebenarnya
masih mempertahankan dukungannya terhadap kepentingan Tiongkok. Dukungan
Kamboja membuat Tiongkok bersikukuh mengklaim kepemilikan hampir 90
persen wilayah LTS. Akibatnya, Tiongkok merasa tetap mampu mengelola
konflik dan kerja sama dengan negara-negara ASEAN.
Ketiga, inkonsistensi pada tiap perundingan antara ASEAN dan
Tiongkok. Permintaan Tiongkok untuk tidak memasukkan isu LTS ke agenda
dan komunike bersama pertemuan ke-48 itu ternyata berbeda dari
persetujuannya pada pertemuan sebelumnya. Dalam sidang ke-14 tim kerja
sama Tiongkok- ASEAN pada Juni 2015, kedua pihak sebenarnya bersepakat
membangun titik kontak bagi komunikasi darurat antarpejabat senior, yang
dapat membantu mencegah eskalasi konflik. Kelompok kerja juga setuju
menyelesaikan masalah maritim ”dalam semangat bertetangga yang baik” dan
sesuai dengan hukum maritim internasional.
Sentralitas dan kepemimpinan ASEAN akan selalu diuji oleh kontinuitas
sikap inkonsisten Tiongkok. Inkonsistensi Tiongkok itu, baik di dalam
maupun di luar perundingan, memang menjadikan isu LTS makin kompleks.
Melalui komunike bersama itu, ASEAN dan Tiongkok diharapkan dapat segera
menyusun kerangka kerja riil berdasarkan DoC dan CoC.
Memang DoC dan CoC bukan aturan main untuk penyelesaian konflik klaim
mengenai LTS. Resolusi konflik itu masih memerlukan waktu panjang
karena berkait kedaulatan wilayah maritim yang tidak bisa ditawar lagi. Namun komunike bersama itu menegaskan bahwa ASEAN dan Tiongkok
bersepakat soal aturan perilaku yang menjamin kebebasan berlayar di LTS.
Akhirnya, kebersatuan ASEAN tetap diuji untuk mendorong Tiongkok tetap
konsisten dengan komunike itu, baik di meja perundingan maupun di
lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar