“Lebih memprihatinkan lagi, disharmoni itu bukan berkait isu-isu ekonomi melainkan isu politik”
DATA pertumbuhan ekonomi nasional dan kegelisahan pedagang pasar
seharusnya bisa mengingatkan para elite di Jakarta supaya jangan melulu
sibuk dengan politik berkait pilkada, ataupun reshuffle yang akhirnya
dilakukan. Lebih baik mendesak pemerintah dan partai pendukungnya untuk
segera memperbaiki salah urus ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan tak
mencapai target. Padahal pekan pertama Agustus 2015, BPS sudah
mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2015 hanya 4,67%,
melambat dibanding triwulan I-2015 yang 4,72% sehingga pertumbuhan
ekonomi semester I-2015 hanya 4,7%. Kegelisahan itu tak hanya
menyelimuti pebisnis besar. Di Jakarta dan Bandung, komunitas pedagang
daging dan sapi potong mengagendakan mogok berjualan. Mereka menuntut
ada upaya pemerintah menurunkan dan menstabilkan harga daging sapi.
Setelah masalah daging sapi, kecukupan beras di dalam negeri
diperkirakan menjadi masalah. Kemarau panjang saat ini menyebabkan
kegiatan penggilingan padi menurun. Banyak uasaha itu berhenti
beroperasi karena keminiman pasokan padi, akhir-akhir ini. Tapi tingkat
kepedulian elite di Jakarta sangat minim, bahkan hampir tidak peduli.
Semuanya sibuk dengan urusan pilkada 2015, dan memperebutkan jabatan
menteri dengan menggoreng isu reshuffle. Pemain utama dua isu ini adalah
beberapa kader PDIP.
Mereka terus memaksa pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) untuk mengatasi calon tunggal di 7
dapil. Kebetulan, 5 calon tunggal di 7 dapil itu pasangan yang diusung
partai tersebut. Perppu yang diminta itu tak masuk akal karena tahap
pertama pilkada sudah dimulai, ditandai pendaftaran calon di 260
kabupaten/ kota plus 9 provinsi. Tak ada kegentingan yang mengharuskan
penerbitan perppu untuk mengoreksi, melengkapi, atau memperkuat PKPU
2015. Lagi pula, persiapan dan pelaksanaan pendaftaran pasangan calon
relatif lancar, kendati di beberapa tempat muncul masalah teknis.
Kelompok Kepentingan Selain isu perppu calon tunggal, presiden terus
didesak merombak formasi Kabinet Kerja.
Mereka berasumsi reshuffle resep paling mujarab. Ini argumentasi yang
dicari-cari. Pasalnya di balik desakan merombak kabinet, yang
diutamakan sesungguhnya adalah konsesi bisnis bagi sejumlah kelompok
kepentingan. Kesulitan dan kelesuan ekonomi saat ini jelasjelas akibat
salah urus pemerintahan. Benar bahwa ketidakpastian global ikut
memengaruhi perlambatan ekonomi nasional. Tetapi potensi dalam negeri
masih mampu menjadi faktor pendorong pertumbuhan bila dikelola dengan
benar dan antisipatif. Tapi akibat salah urus, potensi lokal itu gagal
menjadi motor pertumbuhan. Salah urus paling menonjol adalah kelambanan
penyerapan anggaran. Akibatnya, APBN 2015 tak bisa diandalkan sebagai
motor penggerak pertumbuhan.
Hingga akhir Juli 2015, realisasi belanja
negara baru Rp 913,5 triliun, 46% dari pagu belanja Rp 1.984 triliun.
Volume belanja barang dan belanja modal sangat rendah. Dengan sisa waktu
kurang dari 4 bulan menuju akhir 2015, sebagian besar sisa anggaran
belanja yang Rp 1.000 triliun itu tampaknya makin sulit terserap karena
dua alasan utama. Pertama, kesibukan menyelenggarakan pilkada, dan
kedua, penyusunan nomenklatur kementerian dan lembaga (K/L) yang tak
kunjung selesai. Salah urus kedua tampak pada fakta endapan dana
pembangunan Rp 273 triliun milik semua pemda.
Dana sebesar itu tidak digunakan untuk mendinamisasi pembangunan
daerah tapi disimpan di perbankan dalam bentuk deposito dan giro. Dari
besarannya, jumlah itu potensi nyata yang bisa mendatangkan manfaat bagi
masyarakat di daerah. Faktor lain yang ikut menekan kinerja ekonomi
dalam negeri adalah kemenurunan konsumsi domestik. Kemelemahan konsumsi
dalam negeri sebenarnya bisa diprediksikan bila mengacu kebijakan
pemerintah menaikkan harga jual energi, terutama BBM, pada November
2014. Daya beli atau konsumsi masyarakat akan melemah bila kenaikan
harga energi tidak diikuti penyesuaian upah. Faktor eksternal dan
internal penyebab kelambanan pertumbuhan ekonomi sudah teridentifikasi.
Seharusnya Presiden dan partai-partai pengusung fokus mengatasi hambatan
itu. Sayang, alih-alih bekerja sama mencari solusi, Joko Widodo dan
beberapa kader PDIP malah lebih sering mempertonton perbedaan pandangan
dan sikap. Lebih memprihatinkan lagi, disharmoni itu bukan berkait
isu-isu ekonomi melainkan isu politik, rebutan jabatan menteri berkait
isu reshuffle. Selain itu, upaya menggapai kemenangan besar dalam
Pilkada 2015 dengan isu perppu calon tunggal. Mereka seperti tak peduli
pada tingginya harga daging sapi dan ancaman kelangkaan beras.
Pemerintah kini berusaha mengakselerasi penyerapan anggaran dan
realisasi pembangunan infrastruktur strategis. Upaya itu akan dipayungi
dengan perpres dan inpres. Upaya percepatan itu tidak mudah karena
faktor Pilkada 2015 yang serentak itu. Apalagi bila partai pengusung
pemerintahan saat ini masih terus merecoki pemerintah demi kepentingan
sempit. Tidak mengherankan bila hari-hari ini banyak pihak menyebut
Indonesia menjadi republik salah urus. Politik gaduh, ekonomi tidak
terurus.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar