Gelombang
krisis ekonomi makin terlihat dan terus menjalar hingga kawasan Asia.
Krisis kini merembet ke Malaysia, Myanmar, dan Thailand yang mulai
diterpa badai krisis ekonomi. Pascadevaluasi yuan, ringgit Malaysia,
kyat Myanmar, dan bath Thailand rontok. Mata uang kyat terdepresiasi 24
persen, ringgit tergerus 18,3 persen, dan bath turun sebesar 8 persen
terhadap dolar AS. Alarm bahaya krisis ekonomi makin nyaring dan
menuntut kewaspadaan tinggi.
Indikator ke arah badai ekonomi diperkuat dengan rontoknya bursa
saham Malaysia, yang turun 15,07 persen, dan bursa Thailand yang merosot
5,56 persen. Mata uang rupiah sudah mendekati Rp 14.000 per dolar AS.
Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah sudah merosot 11,7 persen. IHSG
yang rontok mendekati 15 persen. Situasi itu jelas mengkhawatirkan dan
menuntut pemerintah bekerja ekstrakeras untuk mengantisipasi dampak
buruk krisis ekonomi.
Saat ini, ketika angka pemutusan hubungan kerja terus meningkat dan
daya beli masyarakat makin turun, pemerintah tidak perlu membuai
masyarakat dengan janji-janji manis yang belum tentu terpenuhi.
Ketimbang menebar janji seperti janji pertumbuhan ekonomi akan segera
meroket dan sebagainya, pemerintah sebaiknya mengeluarkan
kebijakan-kebijakan antisipatif diikuti Aksi-aksi segera untuk
menggenjot perekonomian dan melindungi masyarakat rentan.
Badai ekonomi yang sudah menerpa Malaysia merupakan pertanda bahaya
yang tidak dapat ditanggapi santai. Selain karena Malaysia adalah mitra
dagang Indonesia, Bank Sentral Malaysia juga merupakan salah satu
pemegang obligasi pemerintah. Keterpurukan ekonomi Malaysia, yang
merupakan sasaran tenaga kerja Indonesia, sudah pasti akan berdampak
pada penyusutan lapangan kerja dan menambah angka pengangguran di
Indonesia yang tidak lagi terserap.
Situasi di Malaysia dapat dijadikan pelajaran. Bersamaan dengan
terpaan krisis ekonomi, negeri itu juga dilanda krisis politik setelah
skandal 1MDB yang melibatkan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak
terbongkar. Demonstrasi besar-besaran di Malaysia menentang Razak
membayangi negeri itu, dan akan makin memperparah kondisi negara itu
secara keseluruhan. Dalam situasi krisis ekonomi, stabilitas politik
adalah kunci menuju ketahanan.
Pemerintah Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali meningkatkan
kewaspadaan, baik kewaspadaan terhadap dinamika ekonomi maupun kesiagaan
atas gejolak politik. Presiden Joko Widodo selaku pemimpin tertinggi
memegang kendali untuk menjaga stabilitas politik. Tentu hal itu harus
dimulai dari internal kabinet, dengan memperkuat kekompakan Kabinet
Kerja dan soliditas. Jika tidak cepat bergerak, kita akan masuk ke
pusaran krisis lebih serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar