Belakangan ini, kriminalisasi menjadi salah satu kata paling populer
yang diucapkan dan dipakai di berbagai pemberitaan media massa. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kriminalisasi diartikan sebagai
proses yangg memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai
peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana
oleh masyarakat.
Kata ini belakangan lekat dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa kasus hukum yang menyasar
sosok-sosok penting di lembaga antikorupsi itu dipersepsikan sebagai
tindakan kriminalisasi.
Abraham Samad, Bambang Widjojanto,
Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja; sebagai pemimpin KPK, disebut
mengalami tindakan ini oleh kepolisian. Sebaliknya, polisi
menyanggahnya. Pelanggaran hukum yang dilakukan komisioner KPK dinilai
memang ada oleh penyidik Polri.
Dari KBBI, bisa diartikan bahwa
dalam kriminalisasi ada perubahan persepsi, dari suatu tindakan yang
sebelumnya bukan pelanggaran hukum, berubah arti menjadi tindakan yang
melanggar. Kriminalisasi dari logika sosiologi hukum pidana bersyaratkan
ada perubahan perundangan atau norma hukum, dari semula tak
berimplikasi sanksi menjadi sebaliknya. Kata ini juga bersilogisme
dengan penjara atau bui sebagai sanksi.
Kata lain yang juga tak kalah ngetren adalah
anggaran. Di KBBI disebutkan, Anggaran adalah 1) perkiraan;
perhitungan; 2) aturan; 3) Ek taksiran mengenai penerimaan dan
pengeluaran kas yang diharapkan untuk periode yang akan datang.
Kondangnya, kata ini dikaitkan dengan pembangunan dan program pemerintah
yang belakangan terkendala.
Dalam berbagai pemberitaan media
massa, disebut bahwa penyerapan anggaran yang menjadi pintu masuk
jalannya proyek pembangunan sangat minim di daerah. Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) memaparkan per 30 Juni 2015, realisasi belanja
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi rata-rata 25,9
persen. Sementara itu, realisasi belanja APBD kabupaten/ kota sebanyak
24,6 persen. Di Ibu Kota, penyerapan anggaran DKI Jakarta baru 19,4
persen.
Kriminalisasi alias persoalan hukum yang dicari-cari
ternyata juga terkait penyerapan anggaran yang minim di daerah. Wakil
Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Perekonomian
Sofyan Djalil menilai, keduanya berkaitan.
Menurut Sofyan
Djalil, banyak kepala daerah ketakutan menggunakan APBD karena takut
dikriminalisasi. Alih-alih menggunakan anggaran bagi kemaslahatan warga
dan pembangunan, kepala daerah bisa malah diganjar hukuman, bukan
memperoleh prestasi.
Karena itu, harus dicarikan jalan agar
kepala daerah sebagai kuasa pengguna anggaran tak merasa ketakutan.
Inilah yang mendasari niatan perlunya Peraturan Presiden (Perpres)
Antikriminalisasi Pejabat Negara.
Kabar ini memang sempat
menyeruak di pemberitaan pada Mei lalu. Deputi Sarana dan Prasarana
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dedy S. Priatna
mengatakan, instruksi presiden (inpres) tersebut dibuat agar para
pejabat di kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan bidang
infrastruktur merasa aman dalam mengambil kebijakan yang mendukung
percepatan pembangunan.
Pro kontra mengikuti diskursus ini. Banyak
pihak, termasuk KPK menilainya, kebijakan itu tak perlu. Isu ini pun
hilang ditelan banyaknya persoalan lain. Kini, Wapres Jusuf Kalla
kembali mengingatkan, peraturan itu tetap menjadi agenda pemerintah. Ia
pun mengingatkan pihak lain, termasuk KPK, agar tak perlu kontra dengan
peraturan baru itu nantinya.
"Kalau pemerintah membuat itu, tidak
ada yang boleh menolak. Bagaimana caranya? Apa urusannya KPK menolak
perpres yang dikeluarkan pemerintah?" ucap wapres di Jakarta, Selasa
(7/7).
Wajar Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil berkeras akan perlunya
optimalisasi penyerapan anggaran segera. Pembangunan infrastruktur
adalah target pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Ini termaktub jelas dalam
Nawacita, program kerja yang diusung keduanya saat berkampanye.
Pembangunan
haruslah berjalan. Ia gusar karena banyak kepala daerah mengeluhkan
dipanggil jaksa dan polisi terkait dugaan pelanggaran penggunaan
anggaran.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Menpan-RB), Yuddy Chrisnandi, juga punya kegusaran sama
pastinya. Karena itu, ia mendesak agar penyerapan anggaran harus
optimal. Dana Rp 255 triliun dari pemerintah pusat yang masih terhenti
di bank-bank pembangunan daerah harus dikucurkan bagi pembangunan, bukan
cuma disimpan.
Di sisi lain, politik anggaran di Tanah Air
selama ini yang kerap bersentuhan dengan korupsi tak terbantahkan. Data
di KPK dan ICW, juga di Kemendagri mencatat, lebih 300 kepala daerah
tersangkut kasus korupsi. Dana yang digunakan kebanyakan APBD.
Singkatnya, anggaran menjadi hal yang rawan diselewengkan.
Hendri
Saparini, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sebelumnya
memimpin ECONIT menilai, ada sisi lain penyebab rendahnya penyerapan
anggaran, sebagaimana koran ini beritakan kemarin. Salah satu faktor nya
karena banyak kepala daerah petahana yang menunda membelanjakan APBD.
Ia mensinyalir, ini ada kaitannya dengan motif-motif politik di
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015.
Pengucuran bantuan ke warga menjelang pilkada bukan hal aneh selama ini. Petahana menjadikannya “alat” sweetener bagi pemilih potensial. Jika
ini benar menjadi salah satu penyebabnya, berarti ketakutan terhadap
kriminalisasi bisa jadi hanya alasan rendahnya penyerapan anggaran. Sisi
lain dari pilkada serentak bisa mendasari kurang jalannya pembangunan.
Begitu
pun halnya dengan kegusaran akan langkah penegak hukum, seperti polisi
dan jaksa yang kerap memeriksa kepala daerah terkait dugaan
penyelewengan anggaran. Sebagaimana disebutkan Wapres Jusuf Kalla, ini
haruslah dijawab dengan langkah komprehensif. Penegasan koordinasi dan
validasi indikasi penyelewengan dari auditor, yakni Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), harusnya menjadi syarat utama pemanggilan oleh aparat
hukum.
Menjadikan ketakutan akan dikriminalisasi sebagai dasar
keluarnya peraturan yang melindungi penyelenggara negara di daerah untuk
memakai anggaran sepertinya bukan solusi utama. Ada hal lain yang harus
diselisik seperti di atas. Kebijakan negara semestinya berdasarkan
perimeter valid dan empiris, bukan hanya dari masukan segelintir pihak.
10 Juli 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar