Jumlah demonstran pro
demokrasi di Hong Kong terus membesar. Rabu (1/10), bertepatan dengan
65 tahun peringatan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, jumlah
pengunjuk rasa sudah mencapai 100.000 orang.
Besarnya massa membuat para
pengunjuk rasa makin percaya diri. Tuntutan mereka soal pemilihan
langsung 2017, seperti dijanjikan Beijing, mengerucut pada desakan
mundurnya Leung Cheung-ying, pemimpin Hong Kong yang merupakan orang
kepercayaan Beijing.
Aksi unjuk rasa ini dimulai
sejak Jumat (26/9), dipelopori para pelajar Hong Kong. Mereka
menduduki Lapangan Tamar yang juga dikenal sebagai Lapangan Warga
Negara di kawasan Central, Hong Kong, yang dekat dengan kantor
pemerintah Hong Kong.
Gerakan yang mereka namakan
“Occupy Central with Love and Peace” ini kemudian memicu aksi
unjuk rasa besar pada Minggu (28/9) pagi. Ini bertujuan melumpuhkan
kawasan pemerintahan kota dan memberikan tekanan kepada pemerintah
Beijing.
Sempat
terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan
polisi saat polisi mencoba membubarkan kerumunan massa dengan
semprotan gas air mata dan merica. Namun,
situasi masih terkendali. Para pengunjuk rasa konsisten dengan aksi
damai mereka. Tidak ada gedung maupun area publik yang dirusak,
sampah dibersihkan, bahkan mereka memasang memo permintaan maaf di
mobil polisi saat terjadi insiden perusakan mobil polisi.
Aksi
unjuk rasa ini diperkirakan akan berlangsung panjang. Ribuan orang
berkemah di kawasan distrik Admiralty dan di kawasan sekitar kantor
pemerintahan, bahkan di jalan-jalan; menagih janji Beijing untuk
memberikan hak rakyat memilih langsung pemimpin mereka, alih-alih
hanya mengizinkan politikus yang didukung pemerintah berlaga dalam
pemilihan umum itu.
Beijing
tampak menahan diri menghadapi aksi unjuk rasa ini, meskipun
pemerintah Beijing menyebut aksi warga tersebut sebagai aksi ilegal,
serta mendorong pemerintah Hong Kong melakukan tindakan tegas
terhadap para pengunjuk rasa, yang dianggap menentang Partai Komunis
yang berkuasa.
Kita
berharap Beijing bisa memberikan solusi masuk akal untuk Hong Kong.
Kita percaya Beijing tidak akan mengambil langkah seperti pada 1989
yang kemudian dikenal dengan Insiden Tiananmen. Jika hal itu
dilakukan, sama saja menyerahkan Tiongkok menjadi bulan-bulanan dunia
internasional.
Namun,
mengabaikan
sama sekali para pengunjuk rasa, seperti dinyatakan pemerintah Hong
Kong, dan berharap aksi itu akan bubar dengan sendirinya, juga
merupakan langkah yang tidak tepat.
Leung
Cheung-ying dengan percaya diri mengatakan pihaknya tidak akan
melakukan tindak represi terhdap aksi tersebut, tetapi
juga tidak akan membuka negosiasi formal atas tuntutan mereka. Ia
yakin aksi tersebut akan bubar dengan sendirinya, seiring kejengahan
warga Hong Kong lainnya yang aktivitas bisnisnya terganggu.
Namun, kita khwatir asumsi
Leung Cheung-ying salah. Alih-alih bubar dan menyusut serta mendapat
kecaman dari warga lokal, aksi tuntutan demokrasi justru bisa makin
terkonsolidasi dan makin solid jika pemerintah bersikap abai.
Kita menilai Beijing agaknya
perlu mendengar tuntutan demokrasi tersebut. Angin sudah berubah.
Hong Kong, sejak diserahkan kembali ke pangkuan Tiongkok pada 1997,
dijanjikan untuk menjalankan sistem yang berbeda dengan Tiongkok
daratan, meski berada di bawah negara yang sama. Hong Kong menikmati
kebebasan yang jauh lebih besar dibanding Tiongkok daratan.
Tuntutan pemilihan langsung
yang diminta warga Hong Kong saat ini, kita melihatnya bukanlah suatu
tuntutan yang berlebihan. Ini karena sebenarnya ini adalah janji yang
juga pernah disampaikan oleh Beijing. Kekhawatiran bahwa “angin
demokrasi”
Hong Kong akan bertiup di
Tiongkok daratan, mestinya sudah diantisipasi jauh-jauh hari.
Tudingan bahwa tuntutan pemilihan langsung ini adalah provokasi dari
paham demokrasi liberal yang diusung negara-negara barat sudah
saatnya tak digunakan lagi.
Selama 65 tahun, Tiongkok
berhasil melewati tantangan ekonomi maupun politik saat banyak negara
di dunia bergolak, negara-negara sosialis bertumbangan, dan
negara-negara kapitalis maupun welfare
state megap-megap
mencukupi kebutuhan warganya.
Jika di bidang ekonomi,
Tiongkok mampu dan bersedia melakukan kompromi terhadap “ide
kapitalisme” agar bisa mencukupi makan 1,3 miliar warganya, perihal
demokrasi semestinya Tiongkok memiliki strategi lebih jitu agar
stabilitas rakyatnya tak kocar-kacir.
Kita berpendapat Tiongkok
tidak bisa memperlakukan warga Hong Kong seperti mereka memperlakukan
warga Tiongkok daratan. Cepat atau lambat—meski coba
diberangus—sinyal demokrasi Hong Kong juga akan bersemai dan tumbuh
bagai jamur di Tiongkok. Alih-alih menghindarinya dan bersikap tidak
peduli, Tiongkok harus mulai belajar mendengar tuntutan itu.
Jika Tiongkok masih percaya
sosialisme dibangun dari kontribusi masing-masing sesuai kemampuannya
dan untuk setiap orang sesuai kontribusinya, angin yang berembus di
Hong Kong tak bisa diabaikan sebagai angin lalu.
Kita melihat tuntutan
pemilihan langsung warga Hong Kong merupakan ujian bagi sosialisme
Tiongkok. Jika Tiongkok bisa melewati ujian ini, bukan hanya
pencapaian ekonomi yang bisa mereka raih, melainkan juga ketangguhan
politik. Dua-duanya adalah syarat bagi terciptanya kesejahteraan
rakyat
2 oktober 2014
http://www.sinarharapan.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar