Ekonomi yang melambat telah mengakibatkan pemutusan hubungan kerja di
beberapa sektor dan dirasakan masyarakat yang mengalami penurunan daya
beli. Di tengah keprihatinan tersebut, Presiden Joko Widodo masih
optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa merangkak naik seiring
dengan makin meningkatnya belanja pemerintah. Optimisme Kepala Negara
pantas disambut secara positif karena pesimisme memang tidak akan
menyelesaikan masalah.
Yang terpenting adalah, sikap optimisme itu diikuti dengan
tindakantindakan yang optimistis dan kebijakan-kebijakan yang
menimbulkan optimisme. Hentikan saja argumen yang terkesan membenarkan
peristiwa pelambatan ekonomi karena masyarakat tidak lagi membutuhkan
argumen, namun solusi riil atas kesulitan ekonomi yang dihadapi.
Kecepatan dan ketepatan bertindak jauh lebih berarti ketimbang
argumen-argumen di atas kertas.
Keliru apabila optimisme itu didasarkan pada perbandingan atas angka
pertumbuhan yang dicapai negara-negara lain. Berdasarkan angka
pertumbuhan pada kuartal II 2015, Indonesia termasuk lima negara
tertinggi. Presiden beralasan, negaranegara lain ada yang mengalami
penurunan 1,5 sampai 2 persen tetapi Indonesia ‘’hanya’’ menurun 0,45
persen. Presiden mengaku heran mengapa publik ribut dengan penurunan
yang tidak signifikan tersebut.
Presiden tidak perlu heran apabila melihat dampak riil, tidak melulu
soal angka. Kelesuan ekonomi yang sudah dirasakan di banyak sektor akan
terus berdampak secara spiral dan multilapis apabila tidak segera
ditangani. Salah satu fakta yang mengherankan publik, sebagaimana diakui
Presiden, tingkat penyerapan anggaran hingga Juni 2015 baru sekitar 12
persen dari total APBNP 2015. Artinya, nyaris tidak ada yang dikerjakan
selama semester ini.
Sebanyak 88 persen anggaran akan ‘’dihabisi’’ pada semester kedua.
Janji tersebut tentu sebuah kabar bagus. Belanja infrastruktur dan modal
dari APBN akan menggenjot pertumbuhan dan kembali menggairahkan
ekonomi. Persoalannya adalah mengapa hanya 12 persen anggaran yang baru
diserap selama semester I? Apa saja kerja kabinet selama ini? Ibarat
penyakit, ketika sudah timbul komplikasi pada penderita, genjotan infus
bukan jawaban.
Persoalan anggaran telah mengakibatkan penurunan sistem kekebalan
tubuh dan banyak komplikasi lain. Dalam kerangka pikir manajemen,
‘’habis-habisan’’ mengucurkan 88 persen anggaran pada semester II juga
bukan perkara gampang. Alih-alih meningkatkan perputaran roda ekonomi,
implikasinya dapat tidak terkendali dan akibatnya tidak meningkatkan
perbaikan ekonomi secara menyeluruh tetapi hanya dinikmati sebagian
kecil ‘’pemilik akses ekonomi’’.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar