“Badan Pengkajian MPR sudah menyepakati sejumlah agenda yang perlu dikaji dan didalami”
ADA hal menarik dari rekomendasi politik Muktamar Ke-33 Nahdlatul
Ulama (NU) di Jombang, 1-5 Agustus 2015. Pertama, partai politik harus
menjadi pilar penyehatan demokrasi. Kedua, parlemen harus dikuatkan dan
didewasakan dengan sistem perwakilan politik dan daerah yang sama-sama
kuat. Ketiga, kembali merumuskan norma hukum yang tidak berakhlakul
karimah.
Khusus menyangkut poin kedua selengkapnya berbunyi,” Penguatan dan
pendewasaan demokrasi mengandaikan sistem keparlemenan yang menuntut
representasi politik dan representasi kedaerahan sama-sama kuat, baik
dalam fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan. UUD 1945 memberikan
kewenangan kepada DPD jauh lebih terbatas dibanding DPR sehingga sistem
bikameral tidak berjalan dengan semestinya. Karena itu, NU mendorong
kepada MPR melakukan amendemen terbatas untuk memperkuat fungsi dan
kewenangan DPD sehingga keberadaannya optimal sebagai penyangga sistem
ketatanegaraan yang kuat dan efektif.”
Sebagai bagian dari Badan Pengkajian MPR, tentu rekomendasi dari
organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini, tak mungkin diabaikan
dan tidak ditindaklanjuti. Apalagi dikaitkan hasil seminar MPR bekerja
sama dengan UNS di Solo, 6 Agustus 2015. Dalam seminar itu, Analis
Senior Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip), Teguh Yuwono
antara lain mengatakan, DPD dalam sistem ketatanegaraan dianggap oleh
sebagian akademisi belum maksimal. Karenanya, diperlukan penguatan
kewenangan lembaga tersebut melalui amendemen UUD.
Selama ini, lanjut dia, DPD masih berada di bawah bayang-bayang
lembaga lain, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Tak heran, menurut
Teguh, sejumlah pihak menganggap DPD sebagai wakil rakyat kelas kedua.
îHal ini menjadi pertanyaan besar dalam teori politik kita karena
seharusnya fungsi DPD tidak selemah itu.” (SM, 7/8/15).
Sejumlah Agenda
Badan Pengkajian MPR sudah menyepakati sejumlah agenda yang perlu
dikaji dan didalami, sehubungan berbagai aspirasi masyarakat yang
mengusulkan penyempurnaan UUD 1945. Selain yang menyangkut penguatan
DPD, ada usulan mengenai penguatan MPR, penegasan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sumber segala sumber hukum, perumusan
kembali konsep pembangunan semacam GBHN, dan sebagainya.
Agenda penguatan MPR misalnya pernah dikemukakan Ketua Umum PDIP,
Megawati Sukarnoputeri. Mantan presiden itu menyebut MPR tak bisa
disamakan dengan DPR, DPD, atau lembaga kepresidenan. Mengapa kita tak
mengembalikan pada marwahnya, MPR diletakkan sebagai lembaga tertinggi.
”Ketika amendemen UUD 1945 dilakukan, seluruh mata batin kenegaraan
seolah dikaburkan oleh kekuatan euforia demokrasi.
Kekuasaan otoriter yang mendadak jebol, tidak memberi kesempatan
untuk melihat sejarah dari sumber primer, khususnya keseluruhan gagasan
ideal mengenai Indonesia merdeka,” katanya saat berpidato di Lemhannas.
(merdeka.com, 28/5/15).
Pikiran Megawati sejalan dengan sikap PBNU yang sudah dirumuskan
sejak 2012, antara lain dalam poin ketiga yang menyebut, ”Dalam upaya
memperkuat kedaulatan rakyat maka status MPR sebagai lembaga tertinggi
negara harus dipulihkan kembali. Karena itu amendemen UUD 1945 yang
menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga
tinggi negara lain harus diamendemen ulang.
Keberadaan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR perlu
dipulihkan kembali. Dengan demikian MPR benar-benar mencerminkan
kedaulatan rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara.”
Aspirasi mengenai pemikiran ulang mengenai posisi MPR dikaitkan
penyusunan konsep perencanaan pembangunan semacam GBHN juga diajukan
secara resmi oleh Forum Rektor Indonesia (FRI), dilengkapi naskah
akademik berjudul ”Mengembalikan Kedaulatan Rakyat melalui Penyusunan
GBHN kepada Penyelenggara Negara.”
”Penyerahan naskah akademik bertujuan supaya wacana penyusunan GBHN
mendapat telaah. Apabila Presiden, MPR, DPR, dan DPD menerima wacana itu
maka beberapa implikasinya adalah memulihkan wewenang MPR dalam
penyusunan GBHN dan penetapannya,” kata Ravik Karsidi, saat masih
memimpin FRI. (metrotvnews.com, 2/1/15).
Menyambut berbagai aspirasi masyarakat tersebut, Ketua MPR, Zulkifli
Hasan tengah mempertimbangkan amendemen UUD 1945, serta penyempurnaan
sistem ketatanegaraan. Ia meminta Badan Pengkajian dibantu Lembaga
Pengkajian bekerja secara cepat agar dalam waktu dekat sistem
ketatanegaraan bisa lebih sempurna. (Okezone. com, 2/7/15).
Sambil menunggu datangnya momentum politik untuk menyempurnakan
kembali konstitusi, Badan Pengkajian MPR terus menyerap aspirasi
masyarakat, termasuk dari akademisi, tokoh masyarakat, pimpinan partai
politik, lembaga negara dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar