Pendaftaran calon kepala daerah tahap kedua sudah berakhir kemarin. Apa
pun hasilnya, tidak ada alasan lagi untuk menunda pelaksanaan pilkada
serentak pada 9 Desember. Selain biaya politiknya terlalu besar, hanya
sedikit daerah yang bermasalah sehingga tidak seharusnya mengganggu
agenda yang lebih besar.
Pilkada serentak rencananya akan berlangsung
di 263 provinsi, kota, dan kabupaten. Masalah timbul karena hingga
akhir pendaftaran calon, terdapat 12 daerah dengan hanya satu pasangan
calon, bahkan ada satu daerah yang tidak memiliki calon.
Calon
tunggal terjadi di Kabupaten Asahan, Serang, Tasikmalaya, Kota Surabaya,
Kabupaten Blitar, Pacitan, Purbalingga, Samarinda, Minahasa Selatan,
Timor Tengah Utara dan Kota Mataram. Daerah yang belum memiliki calon
adalah Bolaang Mongondow Timur di Sulawesi Utara.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) terpaksa membuka pendaftaran tahap kedua. Ini
mengingat ketentuan UU Pemilu menetapkan pilkada diikuti
sekurang-kurangnya dua pasangan calon. Melalui perpanjangan masa
pendaftaran, diharapkan muncul pasangan baru sehingga ketentuan UU bisa
dipenuhi.
Kekurangan calon itu merupakan fakta yang mengejutkan.
Selama ini, banyak sekali pihak yang jor-joran berlomba mencalonkan diri
sebagai pejabat kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun wali kota.
Mereka tak segan menghamburkan dana, tak peduli uang pinjaman atau hasil
penjualan aset, yang penting bisa mencalonkan diri. Tak aneh, kemudian
hari beberapa calon yang gagal kemudian jatuh sakit, depresi, dan
bangkrut.
Kenpa kini pencalonan justru sepi? Padahal, sesuai
ketentuan UU sekarang biaya kampanye ditanggung negara. Parpol pendukung
dan calonnya tidak harus mengeluarkan dana berlebihan seperti pada
sistem lama. Namun, tampaknya tidak begitu, justru kini para calon
memiliki dana money politic lebih besar karena anggaran kampanye sudah
ditanggung negara.
Ada beberapa kemungkinan mengapa terjadi
gejala seperti itu. Pertama, calon petahana terlalu kuat dan sulit untuk
ditandingi, seperti terlihat dalam pencalonan Wali Kota Surabaya.
Posisi Tri Rismaharini sebagai petahana sangat kuat karena prestasinya
memang menonjol. Tokoh perempuan yang didukung PDIP itu memiliki
reputasi tinggi. Ini menciutkan nyali tokoh dari partai lain yang enggan
dipermalukan nanti. Hasil beberapa survei, baik internal maupun
eksternal, memperlihatkan posisi Risma terlalu kuat untuk ditandingi.
Kedua,
pengaderan di parpol buruk. Parpol tak mampu melahirkan calon-calon
berkualitas sebagai pemimpin publik, karena orientasi pengakaderannya
tidak pada pengabdian masyarakat melainkan mengejar kedudukan dan
keuntungan materi. Kini dirasa makin sedikit kader parpol yang diakui
luas oleh masyarakat, bahkan umumnya dicibir sebagai orang-orang yang
tidak bersih, lebih mementingkan kelompok dan pribadi semata.
Ketiga,
mahar politik sangat besar sehingga sangat memberatkan calon. Bukan
rahasia lagi, parpol pendukung mengenakan pungutan sebagai mahar politik
dalam jumlah cukup besar. Tidak ada makan siang gratis. Calon
membutuhkan dukungan politik, sedangkan parpol membutuhkan dana untuk
kas mereka. Fenomena seperti itu sudah banyak terjadi, saling
menguntungkan, yang sebenarnya dikarenakan ketidakmampuan parpol
membereskan basis keuangannya.
Keempat, gebrakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menjebloskan sejumlah kepala
daerah ke penjara. Ini membuat ciut nyali para calon yang berambisi
menjadi pemimpin di daerah. Mereka melihat KPK sebagai ancaman yang
menakutkan. Mereka gamang melihat anggaran daerah yang berlimpah dan
setiap tahun terus bertambah, sangat menggoda. Tapi bila sembrono
sedikit saja, bisa diintai KPK dan salah-salah tertangkap tangan
langsung dijebloskan ke tahanan.
Apa pun alasannya, kita melihat
persoalan pilkada serentak ini sudah terlalu banyak menyita waktu,
tenaga, dan biaya politik. Gagasan pilkada serentak lahir dari perppu
yang dikeluarkan oleh Presiden (ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), menyusul persaingan politik yang melelahkan tahun lalu. Kita
selama ini hanya bisa menonton para elite politik menghamburkan energi
dan biaya politik yang sangat besar, tanpa memedulikan apa yang
sejatinya menjadi hajat hidup rakyat. Toh, kini kita juga tidak puas
dengan kenyataan ternyata biaya pilkada serentak lebih besar daripada
sistem sebelumnya. Ternyata perdebatan yang sangat melelahkan itu tak
juga mampu menghasilkan produk politik yang efisien dan dapat menutup
politik uang.
Kita meminta pilkada serentak dilaksanakan sesuai
jadwal, jangan ditunda lagi. Gagasan penundaan itu semata
dilatarbelakangi kepentingan kelompok yang tidak berdasarkan kebutuhan
dan hajat hidup rakyat.
Kita tidak berkebaratan bila Presiden Joko
Widodo terpaksa mengeluarkan perppu untuk melancarkan pelaksanannya,
mengatur pilkada di beberapa daerah yang belum memenuhi ketentuan UU.
Nanti KPU tinggal melakukan evaluasi lebih cermat dan teliti agar
pelaksanaan pilkada ke depan berlangsung lebih lancar, tertib, efisien
dan menghasilkan tokoh berkualitas yang mengabdi pada kepentingan rakyat
pemilihnya.
04 Agustus 2015
www.sinarharapan.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar