DALAM pidato iftitah Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Prof
Din Syamsuddin menawarkan tiga opsi politik bagi persyarikatan. Pertama,
bersikap netral dengan membangun kedekatan yang sama dengan partai
politik. Muhammadiyah tidak terpengaruh dan tidak terlibat dalam
hiruk-pikuk kekuasaan. Kedua, mendirikan partai politik sebagai amal
usaha di mana Muhammadiyah menentukan kepemimpinan dan kebijakan partai.
Atau, Muhammadiyah berafiliasi dengan partai politik tertentu sebagai
partai utama.
Partai tetap independen dalam hal kepemimpinan dan kebijakan.
Hubungan Muhammadiyah dengan partai bersifat aspiratif, bukan simbolis.
Ketiga, tetap menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik, namun
dalam situasi tertentu mendukung calon eksekutif dan legislatif.
Orientasi politik Muhammadiyah bersifat adhoc dan rasional dengan
melihat individu dan partai yang akan dipilih. Ketiga pilihan tersebut
dilaksanakan dengan tetap mempertahankan jati diri Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah pencerahan yang berorientasi kultural dan politik
adiluhung untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran,
keadaban, dan kemaslahatan. Muktamar ke-47 memilih alternatif pertama.
Merujuk Khittah Ujung Pandang (1971), Surabaya (1978), dan Denpasar
(2002), Muhammadiyah menegaskan tetap dalam koridor dakwah dan menjaga
netralitas politik. Netralitas politik merupakan pilihan dan strategi
agar Muhammadiyah tetap independen, berwibawa, dan mampu memelihara
persatuan warganya. Menjadi partai politik justru mengecilkan,
mereduksi, dan merusak wibawa Muhammadiyah.
Citra Politik Sekarang ini citra partai politik begitu buruk. Partai
politik sangat identik dengan korupsi, kemunafikan, dan rakus kekuasaan.
Dalam sejarah Indonesia, tak segelintir pun organisasi dakwah yang
bermetamorfosis menjadi partai politik sukses mengemban misi politik
keumatan dan akhlaqul karimah. Berafiliasi dengan partai politik
tertentu akan mengekslusi warga Muhammadiyah karena berafiliasi kepada
partai politik yang berbedabeda. Pluralitas politik merupakan kekuatan
yang memungkinkan Muhammadiyah memainkan peran politik kebangsaan.
Aspirasi politik Muhammadiyah disalurkan melalui para kader yang
tersebar dalam berbagai partai politik. Netralitas Muhammadiyah dibangun
di atas pluralitas politik anggotanya. Muhammadiyah adalah rumah besar
yang di dalamnya semua politikus merasa at home. Apa pun partai
politiknya, semua kader adalah ahlul bait, anak kandung, bukan anak
angkat atau anak tiri.
Pengalaman berafiliasi dengan Masyumi dan Parmusi
menjadi pelajaran penting bagaimana Muhammadiyah seharusnya memainkan
peran politiknya. Netralitas tidak berarti apolitik atau antipolitik.
Muhammadiyah tidak boleh berpangku tangan melihat kekisruhan dan
kerusakan negara karena kegagalan partai politik dalam melahirkan
negarawan dan pemimpin bangsa. Masa depan Indonesia ditentukan oleh para
politikus dan elite partai. Muhammadiyah seharusnya mempersiapkan dan
mendukung kader politiknya yang mengabdi kepada bangsa melalui partai
politik. Pilihan politik Muhammadiyah adalah politik kebangsaan, bukan
kepartaian. Politik dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan
tata kelola pemerintahan dan kenegaraan. Dalam konteks ini, Muhammadiyah
dapat mengambil tiga peran. Pertama, opinion maker.
Muhammadiyah dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan kenegaraan. Dengan kekuatan
SDM dan kekayaan intelektualnya, Muhammadiyah aktif memberikan masukan
kepada pemerintah, lembaga- lembaga negara, dan penyelenggara negara
melalui opini media massa, kajian kebijakan, atau forumforum resmi.
Muhammadiyah menerbitkan buku Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa
(2009) dan Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang
Bermakna (2014), yang berisi gagasan dan road map untuk mewujudkan
Indonesia yang berkemajuan sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Kedua, political lobbist. Dengan posisinya yang netral, Muhammadiyah
dapat melakukan komunikasi politik lintas partai dan menyampaikan
aspirasi secara leluasa kepada semua kekuatan politik. Pada umumnya
partai politik dan pengambil kebijakan lebih apresiatif terhadap ide dan
pemikiran yang disampaikan langsung secara tertutup. Kritik terbuka
melalui media massa, selain menimbulkan polemik berkepanjangan dan
kegaduhan politik, juga kontraproduktif. Dengan wibawa para pimpinannya,
Muhammadiyah mampu berperan sebagai pelobi politik yang berpengaruh.
Ketiga, pressure group. Sejarah mencatat bagaimana Muhammadiyah melalui
para tokoh dan kekuatan jaringannya tampil sebagai pressure group yang
berpengaruh. Tekanan politik Muhammadiyah melalui Prof Amien Rais dengan
gerakan reformasi memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Jihad
konstitusi yang dimotori Prof Din ëímemaksaíí pemerintah menyusun
undang-undang migas dan sumber daya air yang baru. Sebagai konsekuensi
judicial reviewUU Migas oleh Muhammadiyah, BP Migas tinggal sejarah dan
para mantan pimpinannya mendekam di penjara.
Tanpa harus menjadi partai
politik atau berafiliasi kepada partai politik tertentu, Muhammadiyah
tetap dapat menjadi kekuatan politik yang kuat. Muhammadiyah dapat
memainkan peran politik kebangsaan sebagai punggawa dan penjaga moral
bangsa.
http://berita.suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar